Markus 10:13-16
Lalu orang membawa anak-anak kecil kepada Yesus, supaya Ia menjamah mereka; akan tetapi murid-murid-Nya memarahi orang-orang itu. Ketika Yesus melihat hal itu, Ia marah dan berkata kepada mereka: “Biarkan anak-anak itu datang kepada-Ku, jangan menghalang-halangi mereka, sebab orang-orang yang seperti itulah yang empunya Kerajaan Allah. Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya barangsiapa tidak menyambut Kerajaan Allah seperti seorang anak kecil, ia tidak akan masuk ke dalamnya.” Lalu Ia memeluk anak-anak itu dan sambil meletakkan tangan-Nya atas mereka Ia memberkati mereka.
***
Ketika masih kuliah, suatu kali saya berangkat ke kampus naik angkot. Angkot itu ngetem agak lama karena menunggu penuh. Dari jendela angkot, saya melihat dua orang anak, mungkin kakak beradik, bermain-main di sekitar tempat berjualan makanan kecil di pinggir jalan, mungkin milik orang tua mereka. Saya melihat sang adik, seorang gadis kecil, menangis sejadi-jadinya sambil marah kepada kakak laki-lakinya yang usil mengganggu. Melihat adiknya menangis, sang kakak hanya tertawa-tawa. Ibu mereka yang mulai merasa terganggu lalu menegur anak itu, sambil membujuk putrinya agar diam. Selang beberapa menit, keduanya ternyata sudah kembali bercanda dan tertawa bersama. Melihat itu, saya tersenyum sendiri. Begitulah kepolosan anak-anak kecil.
Bacaan Injil hari ini berkisah tentang orang-orang yang membawa anak-anak kepada Yesus agar dijamah oleh-Nya. Akan tetapi, para murid melarang mereka, mungkin karena menganggap anak-anak tidak berperan dan tidak berpengaruh pada pengutusan Yesus. Hal itu membuat Yesus marah dan mengatakan agar para murid membiarkan anak-anak itu datang kepada-Nya. Alasan Yesus adalah: Orang-orang yang seperti anak-anak itulah yang empunya Kerajaan Surga. Yesus mau mengatakan bahwa kita harus menerima Kerajaan Allah seperti seorang anak kecil.
Kita tahu bahwa seorang anak kecil memiliki sikap jujur, lugu, terbuka, gembira, suka damai, tidak menyimpan dendam atau kemarahan, mudah memaafkan, dan bergantung pada orang yang lebih dewasa. Semua itu menunjukkan kepolosan dan ketulusan. Hati yang seperti itulah yang harus kita miliki agar boleh menerima Kerajaan Allah. Tanpa itu, kita tidak layak masuk ke dalamnya.
Apakah kita yang saat ini sudah bukan anak kecil lagi masih memiliki hati seperti hati seorang anak kecil? Mungkin kebanyakan dari kita akan mengatakan “tidak”. Seiring dengan pertambahan usia, kita semakin memiliki banyak kemampuan dan semakin mandiri. Kemandirian ini membuat kita mampu menentukan apa yang menjadi pilihan dan kesukaan kita, serta membuat kita tidak lagi bergantung pada pihak lain. Sisi negatifnya, sering kali kita lalu menolak masukan, kritikan, atau peringatan dari orang lain, juga dari Tuhan sendiri. Ketika ada yang mengingatkan tentang hal yang kurang pas, kita malah tersinggung, marah, dan merasa diremehkan.
Hal itu menunjukkan bahwa hati seorang anak tidak lagi kita miliki. Yang menjadi penyebab utamanya adalah karena kita menempatkan diri lebih dari orang lain dan lebih dari apa adanya kita. Karena itu, agar memiliki hati seperti seorang anak kecil, marilah kita merendahkan diri dan menerima diri kita apa adanya, dengan segala kekuatan dan kelemahannya. Dengan demikian, kita akan tetap terbuka kepada Allah dan sesama.
Selain itu, dalam bacaan Injil hari ini, kita melihat Yesus yang sangat memperhatikan keselamatan dan pembinaan rohani anak-anak. Sebagai orang tua atau orang sudah dewasa, hendaknya kita juga senantiasa memperhatikan kehidupan rohani anak-anak kita dan menuntun mereka kepada Kristus.
Saudara-saudari terkasih, semoga kita menjaga hati kita agar menjadi seperti hati seorang anak kecil; semoga kita juga selalu memperhatikan pembinaan iman anak-anak kita.