Bekerja Sama dengan Allah

Kamis, 17 Februari 2022 – Hari Biasa Pekan VI

118

Markus 8:27-33

Kemudian Yesus beserta murid-murid-Nya berangkat ke kampung-kampung di sekitar Kaisarea Filipi. Di tengah jalan Ia bertanya kepada murid-murid-Nya, kata-Nya: “Kata orang, siapakah Aku ini?” Jawab mereka: “Ada yang mengatakan: Yohanes Pembaptis, ada juga yang mengatakan: Elia, ada pula yang mengatakan: seorang dari para nabi.” Ia bertanya kepada mereka: “Tetapi apa katamu, siapakah Aku ini?” Maka jawab Petrus: “Engkau adalah Mesias!” Lalu Yesus melarang mereka dengan keras supaya jangan memberitahukan kepada siapa pun tentang Dia.

Kemudian mulailah Yesus mengajarkan kepada mereka, bahwa Anak Manusia harus menanggung banyak penderitaan dan ditolak oleh tua-tua, imam-imam kepala dan ahli-ahli Taurat, lalu dibunuh dan bangkit sesudah tiga hari. Hal ini dikatakan-Nya dengan terus terang. Tetapi Petrus menarik Yesus ke samping dan menegur Dia. Maka berpalinglah Yesus dan sambil memandang murid-murid-Nya Ia memarahi Petrus, kata-Nya: “Enyahlah Iblis, sebab engkau bukan memikirkan apa yang dipikirkan Allah, melainkan apa yang dipikirkan manusia.”

***

Jalan menjadi anak-anak Allah bukan semata-mata bermodalkan jaminan kenyamanan. Identitas anak-anak Allah sangat berbeda dengan kualitas orang dalam kacamata duniawi, yang mana prioritasnya adalah kemapanan. Karena itu, hidup sebagai anak-anak Allah bukanlah seperti profesi yang menuntut kualifikasi pendidikan atau keahlian tertentu. Dalam hal ini, ketaatan pada kehendak Tuhan merupakan bekal yang paling utama.

Hari ini Yesus memberitakan tentang penderitaan yang akan diterima-Nya. Yesus tidak menolak hal itu, sebab apa yang akan terjadi atas diri-Nya merupakan sarana keselamatan bagi setiap orang. Yesus tidak gentar, tetapi justru berani menyambut rencana Allah Bapa secara terbuka. Keterbukaan kehendak adalah kunci untuk kelancaran karya keselamatan Allah. Keterbukaan ini berarti kemauan untuk dibentuk dalam prakarsa Allah.

Dibentuk berarti diolah oleh Allah dengan cara dan sistem kerja-Nya. Sikap yang perlu dimunculkan adalah lepas bebas dan menghindari kelekatan. Ketika tahu bahwa Ia harus menempuh jalan penderitaan, Yesus bersedia melakukannya tanpa ada kecemasan atas kelekatan-kelekatan tertentu. Dengan rendah hati, Yesus mau berkorban bagi manusia, meski Dia harus merendahkan diri-Nya serendah-rendahnya.

Sering kali segala macam keahlian dan kualifikasi pendidikan yang telah kita dapatkan justru menjadi penyebab ketidakmauan kita untuk dibentuk oleh Allah. Kita lekat pada apa yang sudah kita miliki, sehingga tidak mau menjalin kerja sama dengan Allah. Untuk itu, kita perlu membenahi diri. Rendah hati dan mau dibentuk, itulah kiranya semangat yang perlu dipelihara.

Kita perlu menjalin komunikasi rohani dengan Bapa dalam pemeriksaan batin. Yesus selalu punya waktu berdialog dan berdoa kepada Bapa, sehingga apa yang akan terjadi pada-Nya tidak menyebabkan kegentaran hati. Karena itulah Yesus menjadi teladan kesetiaan dalam melaksanakan kehendak Allah. Mari kita belajar dari Yesus untuk memberikan diri seutuh-Nya pada kehendak Allah, sehingga kita bisa bekerja sama dengan-Nya. Allah mau membentuk dan menempa kita dengan berbagai macam dinamika hidup. Sudah siapkah kita?