Markus 4:35-41
Pada hari itu, waktu hari sudah petang, Yesus berkata kepada mereka: “Marilah kita bertolak ke seberang.” Mereka meninggalkan orang banyak itu lalu bertolak dan membawa Yesus beserta dengan mereka dalam perahu di mana Yesus telah duduk dan perahu-perahu lain juga menyertai Dia. Lalu mengamuklah topan yang sangat dahsyat dan ombak menyembur masuk ke dalam perahu, sehingga perahu itu mulai penuh dengan air. Pada waktu itu Yesus sedang tidur di buritan di sebuah tilam. Maka murid-murid-Nya membangunkan Dia dan berkata kepada-Nya: “Guru, Engkau tidak perduli kalau kita binasa?” Ia pun bangun, menghardik angin itu dan berkata kepada danau itu: “Diam! Tenanglah!” Lalu angin itu reda dan danau itu menjadi teduh sekali. Lalu Ia berkata kepada mereka: “Mengapa kamu begitu takut? Mengapa kamu tidak percaya?” Mereka menjadi sangat takut dan berkata seorang kepada yang lain: “Siapa gerangan orang ini, sehingga angin dan danau pun taat kepada-Nya?”
***
“Guru, Engkau tidak perduli kalau kita binasa?” demikian para murid berteriak-teriak ketakutan ketika kapal mereka dihantam topan yang dahsyat. Kata “peduli” begitu menarik perhatian saya. Inilah sikap Tuhan yang dipertanyakan oleh para murid yang sedang ketakutan. Bukankah ini aneh? Bagaimana tidak, Natal yang bulan lalu kita rayakan sebenarnya adalah peringatan kepedulian Tuhan terhadap manusia!
Mempertanyakan kepedulian Tuhan sungguh menggelikan. Tuhan berinkarnasi menjadi manusia demi keselamatan kita semua. Ini adalah bentuk kepedulian yang paling utuh dan lengkap. Tidak ada kepedulian yang bisa mengalahkan cinta Tuhan tersebut. Tuhan selalu peduli, dan kalau kita mencari teladan kepedulian, Yesus adalah teladan yang sempurna.
Kepedulian yang sejati adalah kepedulian yang tulus dan tanpa pamrih. Kepedulian yang sejati adalah kepedulian yang tidak berhitung-hitung. Kepedulian yang sejati mau bersusah payah, bahkan menderita karena memiliki per-hati-an kepada orang lain. Dengan peduli, kita sungguh memberi hati bagi sesama.
Dalam masa pandemi ini, kadang saya sungguh merasa lelah menggunakan masker. Telinga terkadang sakit karena terkait dengan tali masker; bicara pun menjadi tidak lepas dan butuh energi lebih banyak. Di tengah kejengkelan tersebut, saya mencoba sungguh menyadari betapa pentingnya masker bukan hanya bagi saya, melainkan juga bagi orang-orang di sekitar saya. Saya mencoba peduli, meskipun kepedulian saya sangat tidak sempurna. Untuk peduli, saya mencoba bertahan dalam ketidaknyamanan itu.
Ada banyak kepedulian yang bisa kita buat. Di dalam keluarga, orang tua bisa peduli dengan memberikan waktu yang berkualitas bagi anak. Anak bisa peduli dengan membantu orang tua, memperhatikan rumah, dan memperhatikan pelajaran dengan sungguh-sungguh. Kita bisa saling peduli, baik di Gereja maupun di kalangan masyarakat, dengan banyak hal sederhana: Memperhatikan kebersihan, memperhatikan protokol kesehatan, berkendara dengan cermat dan sabar, berpartisipasi dalam kerja Gereja, dan banyak hal lain.
Tahun 2022 adalah tahun kepedulian. Di akhir minggu ini, Tuhan mengajak kita untuk semakin tulus dalam kepedulian. Hidup kita akan semakin bermakna bukan karena kekayaan, kehebatan, atau nama besar, melainkan karena kepedulian. Kepedulian membawa kita semakin dekat dengan Kristus.