Paradoks dalam Sabda Bahagia

Senin, 1 November 2021 – Hari Raya Semua Orang Kudus

472

Matius 5:1-12a

Ketika Yesus melihat orang banyak itu, naiklah Ia ke atas bukit dan setelah Ia duduk, datanglah murid-murid-Nya kepada-Nya. Maka Yesus pun mulai berbicara dan mengajar mereka, kata-Nya: “Berbahagialah orang yang miskin di hadapan Allah, karena merekalah yang empunya Kerajaan Surga. Berbahagialah orang yang berdukacita, karena mereka akan dihibur. Berbahagialah orang yang lemah lembut, karena mereka akan memiliki bumi. Berbahagialah orang yang lapar dan haus akan kebenaran, karena mereka akan dipuaskan. Berbahagialah orang yang murah hatinya, karena mereka akan beroleh kemurahan. Berbahagialah orang yang suci hatinya, karena mereka akan melihat Allah. Berbahagialah orang yang membawa damai, karena mereka akan disebut anak-anak Allah. Berbahagialah orang yang dianiaya oleh sebab kebenaran, karena merekalah yang empunya Kerajaan Surga. Berbahagialah kamu, jika karena Aku kamu dicela dan dianiaya dan kepadamu difitnahkan segala yang jahat. Bersukacita dan bergembiralah, karena upahmu besar di surga.”

***

Dalam Injil Matius, sabda bahagia disampaikan Yesus di sebuah bukit. Dengan ini, Matius ingin menampilkan gagasan tentang gunung atau bukit sebagai tempat pewahyuan diri Allah atau sebagai tempat di mana kehendak Allah bagi umat Israel diwahyukan. Pengajaran Yesus di atas sebuah bukit menjadi momen pewahyuan yang menandai otoritas-Nya untuk memulai pemerintahan Allah dan untuk mengajar umat Allah.

Apa yang diajarkan oleh Yesus di sini? Ia menyampaikan serangkaian sabda bahagia, yang di dalamnya terkandung tuntutan-tuntutan yang sangat radikal. Dikatakan radikal karena kemiskinan, dukacita, lemah lembut, lapar dan haus, serta penganiayaan pada umumnya tidak dilihat sebagai berkat dalam kehidupan sehari-hari. Dengan menyebut orang-orang yang demikian sebagai orang-orang yang diberkati dan yang berbahagia, Yesus menjanjikan sebuah perubahan radikal bagi mereka yang miskin, lapar, hina, dan dianiaya.

Sabda bahagia yang dikemukakan Yesus banyak yang bersifat paradoksal. Bagaimana tidak, orang-orang yang miskin, berdukacita, lemah lembut, lapar dan haus, dan dianiaya justru disebut berbahagia, kontras dengan pandangan dunia yang menyebut mereka sebagai orang-orang yang tidak beruntung. Yesus secara paradoks mengucapkan sabda bahagia bagi mereka yang tidak berbahagia karena iman mereka. Sabda bahagia yang disampaikan-Nya dapat diringkas dengan rumusan berikut: “Berbahagialah orang-orang yang tidak berbahagia di dunia lantaran iman mereka, sebab Allah akan membuat mereka berbahagia.”

Melalui ucapan sabda bahagia dalam bentuk berkat di masa yang akan datang, Matius ingin menasihati, mendorong, dan menantang kita agar tetap setia dan taat kepada Allah dalam situasi dan kondisi hidup yang sulit, sebab kita akan dibenarkan-Nya seperti orang-orang kudus yang kita rayakan hari ini.