Matius 8:28-34
Setibanya di seberang, yaitu di daerah orang Gadara, datanglah dari pekuburan dua orang yang kerasukan setan menemui Yesus. Mereka sangat berbahaya, sehingga tidak seorang pun yang berani melalui jalan itu. Dan mereka itu pun berteriak, katanya: “Apa urusan-Mu dengan kami, hai Anak Allah? Adakah Engkau ke mari untuk menyiksa kami sebelum waktunya?” Tidak jauh dari mereka itu sejumlah besar babi sedang mencari makan. Maka setan-setan itu meminta kepada-Nya, katanya: “Jika Engkau mengusir kami, suruhlah kami pindah ke dalam kawanan babi itu.” Yesus berkata kepada mereka: “Pergilah!” Lalu keluarlah mereka dan masuk ke dalam babi-babi itu. Maka terjunlah seluruh kawanan babi itu dari tepi jurang ke dalam danau dan mati di dalam air. Maka larilah penjaga-penjaga babi itu dan setibanya di kota, diceriterakannyalah segala sesuatu, juga tentang orang-orang yang kerasukan setan itu. Maka keluarlah seluruh kota mendapatkan Yesus dan setelah mereka berjumpa dengan Dia, mereka pun mendesak, supaya Ia meninggalkan daerah mereka.
***
Yesus sudah sangat populer di wilayah Yahudi. Orang banyak sering kali mengerumuni-Nya. Akan tetapi, Ia tidak menikmati, apalagi memanipulasi popularitas tersebut. Ia justru bertolak “ke seberang”, simbol gerak pewartaan-Nya yang senantiasa mau menjangkau sebanyak mungkin manusia, juga mereka yang dianggap kelas dua dan tidak layak. Wilayah “seberang” adalah simbol keterasingan dan bahaya. Yesus langsung berhadapan dengan kekuatan lawan, yakni dua orang yang kerasukan setan. Kondisi ini tentu menegaskan kenajisan mereka, apalagi Gadara adalah wilayah orang asing. Dua orang itu bahkan datang dari pekuburan, tempat yang paling najis bagi orang Yahudi karena penuh mayat dan kematian.
Kedua orang yang kerasukan setan itu sangat berbahaya. Tidak ada yang berani menemui mereka, selain Yesus dan rombongan-Nya. Setan membuat orang takut menjadi murid Tuhan, tetapi Tuhan datang untuk menghilangkan ketakutan itu agar manusia dengan bebas menjadi murid-Nya. Konflik pun dimulai, bagaikan perang memperebutkan lahan: Manusia itu milik siapa? Setan mengakui Yesus sebagai Anak Allah yang akan mengalahkan mereka, tetapi itu terjadi pada akhir zaman, bukan sekarang. Mengapa Yesus “mencuri start”? Mereka ingin terus berkuasa sekarang sampai kelak saat Tuhan datang. Namun, Kerajaan Surga ternyata sudah mulai hadir kini dan di sini lewat sabda dan karya Yesus.
Setan-setan itu meminta untuk pindah ke kawanan babi. Dengan satu kata saja, Yesus mengabulkan permintaan mereka, “Pergilah!” Yesus berkuasa atas setan dan roh jahat. Sabda-Nya sungguh berwibawa. Seluruh kawanan babi terjun dari tebing dan mati di dalam danau. Setan memang selalu merusak dan membawa kematian. Binatang-binatang najis pun tidak siap menerima kehadiran mereka, apalagi manusia! Tempat setan dan kekuatan jahat ada di kedalaman laut, bukan di dalam tubuh manusia! Kekuatan dan kuasa setan harus pergi karena Kerajaan Allah sudah hadir. Pembaca Matius mungkin melihat ini sebagai simbol kekalahan kuasa dan kekuatan kekaisaran Romawi oleh iman akan Kristus. Pesan politis itu tetap relevan: Iman akan Kristus akan mengalahkan semua kekuatan setan, apa pun bentuknya, entah itu rezim politis yang menindas, mayoritas yang intoleran, lembaga gerejawi yang tidak adil dan manusiawi, dan sebagainya.
Para penjaga babi menjadi saksi kuasa Yesus atas setan-setan. Namun, mereka malah berfokus pada kerugian, bukan pada pewartaan Kabar Gembira. Mereka justru mewartakan ketakutan ke dalam kota. Akibatnya, seluruh penduduk mendesak Yesus untuk meninggalkan daerah mereka. Setan memang pergi, tetapi pengaruhnya tinggal dalam bentuk lain, contohnya berupa penolakan orang-orang Gadara ini. Namun, Matius lebih berfokus pada Yesus. Ia tetap menjadi pusat, meski akhirnya ditolak. Misi untuk orang asing baru akan dimulai nanti, yakni setelah Yesus bangkit. Pokoknya, kehadiran Yesus tidak selalu diterima. Mukjizat yang dibuat-Nya dapat membuat orang percaya, dapat juga membuat orang menolak-Nya. Kuasa-Nya atas setan dapat menimbulkan kekaguman, dapat juga menimbulkan kengerian. Di hadapan Tuhan, setiap orang harus menentukan sikap: Menerima atau menolak Dia. Tidak ada sikap mendua, abu-abu, ataupun mencari aman saja.