Antara Pertobatan dan Belas Kasihan

Sabtu, 6 Maret 2021 – Hari Biasa Pekan II Prapaskah

215

Lukas 15:1-3, 11-32

Para pemungut cukai dan orang-orang berdosa biasanya datang kepada Yesus untuk mendengarkan Dia. Maka bersungut-sungutlah orang-orang Farisi dan ahli-ahli Taurat, katanya: “Ia menerima orang-orang berdosa dan makan bersama-sama dengan mereka.” Lalu Ia mengatakan perumpamaan ini kepada mereka:

Yesus berkata lagi: “Ada seorang mempunyai dua anak laki-laki. Kata yang bungsu kepada ayahnya: Bapa, berikanlah kepadaku bagian harta milik kita yang menjadi hakku. Lalu ayahnya membagi-bagikan harta kekayaan itu di antara mereka. Beberapa hari kemudian anak bungsu itu menjual seluruh bagiannya itu lalu pergi ke negeri yang jauh. Di sana ia memboroskan harta miliknya itu dengan hidup berfoya-foya. Setelah dihabiskannya semuanya, timbullah bencana kelaparan di dalam negeri itu dan ia pun mulai melarat. Lalu ia pergi dan bekerja pada seorang majikan di negeri itu. Orang itu menyuruhnya ke ladang untuk menjaga babinya. Lalu ia ingin mengisi perutnya dengan ampas yang menjadi makanan babi itu, tetapi tidak seorang pun yang memberikannya kepadanya. Lalu ia menyadari keadaannya, katanya: Betapa banyaknya orang upahan bapaku yang berlimpah-limpah makanannya, tetapi aku di sini mati kelaparan. Aku akan bangkit dan pergi kepada bapaku dan berkata kepadanya: Bapa, aku telah berdosa terhadap surga dan terhadap bapa, aku tidak layak lagi disebutkan anak bapa; jadikanlah aku sebagai salah seorang upahan bapa. Maka bangkitlah ia dan pergi kepada bapanya. Ketika ia masih jauh, ayahnya telah melihatnya, lalu tergeraklah hatinya oleh belas kasihan. Ayahnya itu berlari mendapatkan dia lalu merangkul dan mencium dia. Kata anak itu kepadanya: Bapa, aku telah berdosa terhadap surga dan terhadap bapa, aku tidak layak lagi disebutkan anak bapa. Tetapi ayah itu berkata kepada hamba-hambanya: Lekaslah bawa ke mari jubah yang terbaik, pakaikanlah itu kepadanya dan kenakanlah cincin pada jarinya dan sepatu pada kakinya. Dan ambillah anak lembu tambun itu, sembelihlah dia dan marilah kita makan dan bersukacita. Sebab anakku ini telah mati dan menjadi hidup kembali, ia telah hilang dan didapat kembali. Maka mulailah mereka bersukaria. Tetapi anaknya yang sulung berada di ladang dan ketika ia pulang dan dekat ke rumah, ia mendengar bunyi seruling dan nyanyian tari-tarian. Lalu ia memanggil salah seorang hamba dan bertanya kepadanya apa arti semuanya itu. Jawab hamba itu: Adikmu telah kembali dan ayahmu telah menyembelih anak lembu tambun, karena ia mendapatnya kembali dengan sehat. Maka marahlah anak sulung itu dan ia tidak mau masuk. Lalu ayahnya keluar dan berbicara dengan dia. Tetapi ia menjawab ayahnya, katanya: Telah bertahun-tahun aku melayani bapa dan belum pernah aku melanggar perintah bapa, tetapi kepadaku belum pernah bapa memberikan seekor anak kambing untuk bersukacita dengan sahabat-sahabatku. Tetapi baru saja datang anak bapa yang telah memboroskan harta kekayaan bapa bersama-sama dengan pelacur-pelacur, maka bapa menyembelih anak lembu tambun itu untuk dia. Kata ayahnya kepadanya: Anakku, engkau selalu bersama-sama dengan aku, dan segala kepunyaanku adalah kepunyaanmu. Kita patut bersukacita dan bergembira karena adikmu telah mati dan menjadi hidup kembali, ia telah hilang dan didapat kembali.”

***

Kata kunci dalam bacaan Injil hari ini adalah pertobatan. Inilah yang mau disampaikan oleh perumpamaan tentang anak yang hilang. Perumpamaan ini menggambarkan Allah yang penuh belas kasihan dan pengampunan. Anak yang bungsu mengalami kerahiman Allah karena ia menyesal dan mengakui bahwa dirinya telah berdosa. Karena itu, dosa dan kesalahannya kemudian dihapuskan. Tindakan si bungsu ini mengajak kita untuk terus-menerus membersihkan diri dari segala kerapuhan dengan kesadaran bahwa kita adalah orang yang lemah dan berdosa di hadapan Allah.

Dalam perumpamaan ini, belas kasihan sang bapa yang melambangkan belas kasihan Allah diperlawankan dengan sikap anak yang sulung, yang melambangkan sikap orang Farisi dan para ahli Taurat. Orang-orang ini menganggap diri mereka “orang benar” karena merasa tidak pernah melanggar Hukum Taurat. Terkadang kita mungkin seperti mereka yang merasa diri selalu benar. Kita sulit untuk bersikap rendah hati, serta untuk mengakui bahwa di balik segala kelebihan dan kekuatan kita ada kelemahan dan dosa di dalamnya.

Yesus mengajak kita untuk memiliki sikap rendah hati, sebab kerendahan hati adalah tanah terbaik tumbuhnya kerahiman Allah. Dunia boleh saja menawarkan kekayaan, kesenangan, jabatan, dan kemewahan, namun Allah menawarkan suatu hal yang jauh lebih berharga, yaitu kerahiman dan belas kasihan.

Saudara-saudari terkasih, maukah kita bersikap rendah hati? Maukah kita menyadari diri sebagai orang-orang yang lemah dan berdosa? Maukah kita memohon rahmat kerahiman Allah agar memurnikan diri kita setiap waktu?