Markus 4:21-25
Lalu Yesus berkata kepada mereka: “Orang membawa pelita bukan supaya ditempatkan di bawah gantang atau di bawah tempat tidur, melainkan supaya ditaruh di atas kaki dian. Sebab tidak ada sesuatu yang tersembunyi yang tidak akan dinyatakan, dan tidak ada sesuatu yang rahasia yang tidak akan tersingkap. Barangsiapa mempunyai telinga untuk mendengar, hendaklah ia mendengar!”
Lalu Ia berkata lagi: “Camkanlah apa yang kamu dengar! Ukuran yang kamu pakai untuk mengukur akan diukurkan kepadamu, dan di samping itu akan ditambah lagi kepadamu. Karena siapa yang mempunyai, kepadanya akan diberi, tetapi siapa yang tidak mempunyai, apa pun juga yang ada padanya akan diambil darinya.”
***
Setelah sebelumnya mengambil ilustrasi dari dunia pertanian, dalam perumpamaan singkat ini, Yesus memakai gambaran dari lingkungan rumah tangga, tentu saja rumah tangga di kalangan masyarakat Palestina abad pertama. Pada masa Yesus, rumah hanya diterangi pelita minyak. Meskipun kualitas cahayanya buram, adanya cahaya menjadi tanda bahwa rumah itu berpenghuni. Terang menjadi tanda kehidupan. Sebaliknya, gelap dan malam selalu menakutkan, sehingga menjadi tanda kesedihan, tidak adanya kehidupan, sehingga sering kali dikaitkan dengan bahaya, maut, dan kuasa setan.
Dalam perumpamaan yang kita dengar hari ini, sabda Tuhan diibaratkan dengan terang. Sebagai terang, sabda Tuhan harus kelihatan dan berdampak dalam kehidupan nyata, harus mengubah si pewarta dan manusia lainnya. Membiarkan sabda hanya sebagai buku atau tulisan yang tidak dibaca, maupun sekadar dibaca atau dipelajari, bagaikan menyimpan pelita di bawah tempayan atau tempat tidur. Sabda itu tidak akan berdampak; cahaya Tuhan akan terhalang.
Dengan demikian, pesan perumpamaan singkat ini jelas. Pertama, biarkan sabda Tuhan menjadi sumber hidup kita. Yesus mengatakan dalam kesempatan lain, “Manusia hidup bukan dari roti saja, tetapi dari setiap firman yang keluar dari mulut Allah” (Mat. 4:4). Sabda Tuhan adalah sumber hidup. Dalam arti apa? Hidup sejati atau keselamatan manusia berasal dari Allah, bukan dari dunia ataupun dari upaya sendiri. Firman Tuhan menjadi sumber inspirasi, memberi kekuatan dan peneguhan dalam perjuangan hidup ini. Dengan demikian, kita sekaligus diingatkan akan asal dan tujuan penziarahan kita di dunia. Hidup kita berasal dari Dia dan mengarah kepada-Nya. Penderitaan dan keterbatasan hidup di dunia ini bukanlah kata akhir. Kesuksesan dan kenikmatan hidup juga tidak perlu dimutlakkan, didewakan, atau dibanggakan sebagai milik yang abadi.
Kedua, biarkan sabda Tuhan menjadi penuntun hidup kita. Tuhan membimbing kita lewat suara hati, lewat sesama, lewat pengalaman, dan terutama lewat Kitab Suci. Dalam Kitab Suci, kita mendengar bagaimana Tuhan berkomunikasi dan menuntun umat-Nya dalam sejarah, bagaimana mereka dipanggil dan dibentuk-Nya melalui pelbagai pengalaman, penderitaan, dan hukuman. Dengan kata lain, dalam Kitab Suci, kita belajar dari pengalaman iman umat Allah sepanjangan sejarah, pengalaman yang sudah “teruji” selama ribuan tahun. Dalam Kitab Suci, kita belajar bagaimana umat Allah bergulat untuk terus mengandalkan Allah dalam segala hal, bagaimana mereka berdoa, bagaimana mereka membangun solidaritas, keadilan, dan kesetaraan di antara mereka, bagaimana mereka menghadapi dan memperlakukan orang lain. Itulah sabda Tuhan yang menuntun dan menginspirasi langkah-langkah hidup kita.