1 Petrus 3:15-18
Tetapi kuduskanlah Kristus di dalam hatimu sebagai Tuhan! Dan siap sedialah pada segala waktu untuk memberi pertanggungan jawab kepada tiap-tiap orang yang meminta pertanggungan jawab dari kamu tentang pengharapan yang ada padamu, tetapi haruslah dengan lemah lembut dan hormat, dan dengan hati nurani yang murni, supaya mereka, yang memfitnah kamu karena hidupmu yang saleh dalam Kristus, menjadi malu karena fitnahan mereka itu. Sebab lebih baik menderita karena berbuat baik, jika hal itu dikehendaki Allah, daripada menderita karena berbuat jahat. Sebab juga Kristus telah mati sekali untuk segala dosa kita, Ia yang benar untuk orang-orang yang tidak benar, supaya Ia membawa kita kepada Allah; Ia, yang telah dibunuh dalam keadaan-Nya sebagai manusia, tetapi yang telah dibangkitkan menurut Roh.
***
Ada orang tua yang sedang bersemadi di bawah pohon besar di tepi sungai. Tiba-tiba dia melihat seekor kalajengking hanyut di sungai itu dan berusaha keluar dari air. Dia pun mengulurkan tangannya untuk membantu kalajengking itu naik ke atas. Namun, setiap kali dia berusaha membantu, kalajengking itu selalu menyengatnya. Seorang pemuda yang memperhatikan kejadian itu berteriak kepadanya, “Bapak, apakah Bapak sudah gila?” Jawab orang itu, “Mengapa kamu bertanya demikian?” Kata si pemuda, “Bapak melakukan perbuatan yang sia-sia. Kalajengking itu tidak tahu niat baik Bapak. Bukannya berterima kasih, binatang itu akan selalu menyengat Bapak.” Balas orang itu, “Menyengat adalah sifat kalajengking. Apakah kita berhenti berbuat baik kepadanya karena ia bertindak sesuai dengan sifatnya?”
Pertanyaannya, jika menyengat adalah sifat kalajengking, lalu apakah sifat sejati manusia?
Bacaan kedua hari Minggu ini mengingatkan kita akan sifat sejati manusia yang telah dibaptis dan beriman kepada Yesus Kristus. Surat Petrus yang Pertama adalah surat pastoral yang ditujukan kepada jemaat kristiani bukan Yahudi. Mereka tersebar di lima provinsi di Asia kecil. Ketika itu, mereka hidup di tengah-tengah masyarakat yang menyembah dewa-dewi, masyarakat yang menganut nilai-nilai berbeda dengan nilai-nilai kristiani. Oleh karena itu, tidak jarang mereka mendapatkan perlakuan kasar dan diskriminatif. Surat ini bertujuan meneguhkan dan menasehati mereka agar hidup dan bertingkah laku sesuai dengan nilai-nilai kristiani kendati mengalami penindasan.
Di awal surat dijabarkan tentang rahmat dan panggilan bagi orang-orang yang telah dibaptis. Rahmat yang diterima orang-orang yang telah dibaptis adalah kelahiran sebagai manusia baru berkat kebangkitan Yesus Kristus (1Ptr. 1:3-12), sedangkan panggilan bagi orang yang telah dibaptis adalah kekudusan dan kasih persaudaraan (1Ptr. 1:13-22). Rahmat dan panggilan inilah yang menjadi dasar bagi jemaat bagaimana harus bertingkah laku dalam hidup sehari-hari. Dengan kata lain, sifat sejati para pengikut Kristus harus bersumber pada rahmat baptisan dan panggilan mereka.
Hari ini jemaat dinasihati bahwa meskipun mengalami penderitaan, mereka harus tetap hidup kudus dengan memuliakan Kristus, bersikap lemah lembut terhadap mereka yang memfitnah, serta hidup dengan hati nurani yang murni. Kendati mereka dianiaya dan difitnah, jemaat harus tetap menanggapinya dengan berbuat kebaikan. Yesus Kristus, yang adalah benar, mati untuk orang-orang yang tidak benar. Dianalogikan dengan cerita di atas, orang yang telah dibaptis ibarat si orang tua yang ingin menolong kalajengking. Sifat sejati untuk berbuat baik tidak boleh luntur karena sengatan kalajengking.
Apa implikasinya bagi kita? Setiap perayaan Malam Paskah dan Minggu Paskah, kita diajak untuk memperbarui janji baptis kita. Ini bukan sekadar acara liturgis. Dengan ini, kita sebenarnya diajak untuk menyadari kembali jati diri kita. Kita adalah manusia baru karena baptisan. Dalam baptisan, kita semua dipanggil untuk hidup kudus dan hidup dalam kasih persaudaraan. Itulah jati diri kita yang sebenarnya. Rahmat dan panggilan ini harus terus kita hidupi setiap waktu.