Yohanes 3:16-21
“Karena begitu besar kasih Allah akan dunia ini, sehingga Ia telah mengaruniakan Anak-Nya yang tunggal, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya tidak binasa, melainkan beroleh hidup yang kekal. Sebab Allah mengutus Anak-Nya ke dalam dunia bukan untuk menghakimi dunia, melainkan untuk menyelamatkannya oleh Dia. Barangsiapa percaya kepada-Nya, ia tidak akan dihukum; barangsiapa tidak percaya, ia telah berada di bawah hukuman, sebab ia tidak percaya dalam nama Anak Tunggal Allah. Dan inilah hukuman itu: Terang telah datang ke dalam dunia, tetapi manusia lebih menyukai kegelapan daripada terang, sebab perbuatan-perbuatan mereka jahat. Sebab barangsiapa berbuat jahat, membenci terang dan tidak datang kepada terang itu, supaya perbuatan-perbuatannya yang jahat itu tidak tampak; tetapi barangsiapa melakukan yang benar, ia datang kepada terang, supaya menjadi nyata, bahwa perbuatan-perbuatannya dilakukan dalam Allah.”
***
Dialog antara Yesus dan Nikodemus terus berlanjut. Kali ini Yesus berbicara tentang kepercayaan kepada Anak yang diutus Allah. Manusia diundang untuk percaya kepada-Nya, untuk membuka diri terhadap kehadiran-Nya. Kepercayaan memang sebuah pilihan yang tidak bisa dipaksakan. Akan tetapi, setiap pilihan tentunya memiliki konsekuensi.
Percaya kepada Yesus akan membuat seseorang memperoleh hidup yang kekal, sedangkan ketidakpercayaan akan mendatangkan hukuman. Yang menghukum orang yang tidak percaya bukan Yesus, tetapi orang itu sendiri. Analoginya adalah pilihan akan terang atau gelap. Kalau kita memilih terang, tentunya kita akan dapat melihat dengan jelas. Situasi sebaliknya akan kita alami kalau kita memilih gelap. Dengan itu, kita “menghadiahkan” kegelapan kepada diri kita sendiri.
Dalam rangka menghentikan penyebaran virus corona, pemerintah meminta masyarakat untuk sementara waktu tinggal di rumah. Kampanye “stay at home” didengungkan di mana-mana. Alasan utamanya adalah jangan sampai orang satu sama lain tertular atau menularkan virus ini. Namun, mengatur masyarakat yang banyak dan beraneka ragam memang tidak mudah. Ada saja yang melanggar imbauan tersebut dengan berbagai macam alasan. Sayangnya, mereka yang menyebut diri “umat beriman” sering kali justru termasuk kelompok yang paling sulit diatur. Imbauan pemerintah mereka tolak dengan alasan-alasan saleh, misalnya, “Mengapa kita takut kepada virus? Kita harus lebih takut kepada Tuhan!”
Kalau kemudian mereka terjangkit virus corona, siapa yang salah? Dapatkah mereka menyalahkan pemerintah karena tidak melindungi warga negara dengan baik? Dapatkah mereka menyalahkan Tuhan karena tidak peduli terhadap umat-Nya yang menderita? Tentu tidak. Pilihan tersedia, dan orang-orang itu telah menentukan pilihan mereka. Kalau ternyata pilihan itu keliru, sehingga mereka harus menanggung konsekuensi yang tidak mengenakkan, janganlah menyalahkan pihak-pihak lain. Mereka dihukum oleh diri mereka sendiri, juga karena kesalahan mereka sendiri. Karena itu, bijaklah dalam bersikap dan dalam menentukan pilihan-pilihan yang tersedia di hadapan kita.