Pertobatan dan Pengampunan Tuhan

Senin, 30 Maret 2020 – Hari Biasa Pekan V Prapaskah

555

Yohanes 8:1-11

Tetapi Yesus pergi ke bukit Zaitun.

Pagi-pagi benar Ia berada lagi di Bait Allah, dan seluruh rakyat datang kepada-Nya. Ia duduk dan mengajar mereka. Maka ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi membawa kepada-Nya seorang perempuan yang kedapatan berbuat zina. Mereka menempatkan perempuan itu di tengah-tengah lalu berkata kepada Yesus: “Rabi, perempuan ini tertangkap basah ketika ia sedang berbuat zina. Musa dalam hukum Taurat memerintahkan kita untuk melempari perempuan-perempuan yang demikian. Apakah pendapat-Mu tentang hal itu?” Mereka mengatakan hal itu untuk mencobai Dia, supaya mereka memperoleh sesuatu untuk menyalahkan-Nya. Tetapi Yesus membungkuk lalu menulis dengan jari-Nya di tanah. Dan ketika mereka terus-menerus bertanya kepada-Nya, Ia pun bangkit berdiri lalu berkata kepada mereka: “Barangsiapa di antara kamu tidak berdosa, hendaklah ia yang pertama melemparkan batu kepada perempuan itu.” Lalu Ia membungkuk pula dan menulis di tanah. Tetapi setelah mereka mendengar perkataan itu, pergilah mereka seorang demi seorang, mulai dari yang tertua. Akhirnya tinggallah Yesus seorang diri dengan perempuan itu yang tetap di tempatnya. Lalu Yesus bangkit berdiri dan berkata kepadanya: “Hai perempuan, di manakah mereka? Tidak adakah seorang yang menghukum engkau?” Jawabnya: “Tidak ada, Tuhan.” Lalu kata Yesus: “Aku pun tidak menghukum engkau. Pergilah, dan jangan berbuat dosa lagi mulai dari sekarang.”

***

Ahli-ahli Taurat dan orang Farisi bermaksud mencobai Yesus. Segala cara mereka tempuh untuk mempersalahkan-Nya. Ke hadapan Yesus, orang-orang itu menghadirkan perempuan yang kedapatan berzina. Mereka meminta Yesus memberikan penghakiman atas masalah tersebut.

Injil Yohanes menggambarkan peristiwa itu seperti situasi di pengadilan. Ada terdakwa, penggugat, saksi, dan hakim. Perempuan yang berzina adalah si terdakwa; ahli-ahli Taurat dan orang Farisi adalah pihak penggugat; hadirin adalah para saksi; dan Yesus ditampilkan sebagai hakim. Pihak penggugat dan saksi dalam hal ini memberikan keterangan-keterangan yang memperberat posisi terdakwa.

Sebagai hakim, Yesus bersikap diam dan mendengarkan. Sang hakim pada akhirnya memutuskan untuk mengampuni terdakwa. Sikap ini berbeda sama sekali dengan sikap orang-orang yang membawa perempuan itu kepada-Nya. Dengan penuh kemarahan dan kebencian, mereka menuntut agar perempuan itu dihukum berat. Yesus menolak tuntutan itu. Sang hakim menampilkan sikap Bapa yang sebenarnya. Ia adalah Allah yang maha pengasih dan pengampun.

Sikap Yesus membuat perempuan itu terkejut. Ia menjadi sadar bahwa sosok di depannya adalah hakim yang pengampun dan penuh kasih. Ia pun tergerak untuk memperbaiki hidupnya. Pengampunan memberi kekuatan kepadanya untuk bertobat. Ia sekarang menyadari bahwa dirinya adalah pribadi yang dicintai Tuhan. Demikianlah, pengampunan adalah “obat mujarab” bagi dosa-dosa yang dilakukan manusia.

Suatu penyesalan tidak berakhir dengan sekadar pengakuan dosa, tetapi dilanjutkan dengan komitmen untuk memperbaiki diri dengan tidak mengulangi kesalahan yang sama. Karena itu, Yesus berkata kepada perempuan tersebut, “Pergilah, dan jangan berbuat dosa lagi mulai dari sekarang.”

Pengampunan dari Tuhan akan sungguh kita rasakan apabila ada penyesalan dalam hati kita. Penyesalan merupakan tanda bahwa kita ingin memperbaiki hidup menjadi lebih baik dan bahwa kita ingin bertobat. Oleh karena itu, penyesalan, pengampunan, dan komitmen kiranya berjalan beriringan. Ketiga sikap ini diperlukan kalau kita ingin meninggalkan dosa-dosa kita dan kembali kepada Bapa.