1 Samuel 1:1-8
Ada seorang laki-laki dari Ramataim-Zofim, dari pegunungan Efraim, namanya Elkana bin Yeroham bin Elihu bin Tohu bin Zuf, seorang Efraim. Orang ini mempunyai dua istri: yang seorang bernama Hana dan yang lain bernama Penina; Penina mempunyai anak, tetapi Hana tidak. Orang itu dari tahun ke tahun pergi meninggalkan kotanya untuk sujud menyembah dan mempersembahkan korban kepada TUHAN semesta alam di Silo. Di sana yang menjadi imam TUHAN ialah kedua anak Eli, Hofni dan Pinehas.
Pada hari Elkana mempersembahkan korban, diberikannyalah kepada Penina, istrinya, dan kepada semua anaknya yang laki-laki dan perempuan masing-masing sebagian. Meskipun ia mengasihi Hana, ia memberikan kepada Hana hanya satu bagian, sebab TUHAN telah menutup kandungannya. Tetapi madunya selalu menyakiti hatinya supaya ia gusar, karena TUHAN telah menutup kandungannya. Demikianlah terjadi dari tahun ke tahun; setiap kali Hana pergi ke rumah TUHAN, Penina menyakiti hati Hana, sehingga ia menangis dan tidak mau makan. Lalu Elkana, suaminya, berkata kepadanya: “Hana, mengapa engkau menangis dan mengapa engkau tidak mau makan? Mengapa hatimu sedih? Bukankah aku lebih berharga bagimu daripada sepuluh anak laki-laki?”
***
Elkana mempunyai dua orang istri, Hana dan Penina. Di antara kedua istri itu terdapat suatu kesenjangan karena Penina mempunyai anak, tetapi Hana tidak. Bagi seorang perempuan Israel, tidak mempunyai anak dirasakan sebagai aib yang besar. Keberadaan anak (terutama laki-laki) dalam keluarga dianggap sangat penting. Anak merupakan jaminan keamanan sosial pada masa tua seseorang.
Elkana sesungguhnya lebih mengasihi Hana. Meskipun demikian, setiap kali mempersembahkan kurban, ia memberikan kepada Penina dan semua anaknya masing-masing satu bagian dari kurban itu. Kepada Hana, Elkana hanya memberikan satu bagian karena sekalipun ia mengasihi Hana, Hana tidak mempunyai anak.
Penina tidak dapat menerima kenyataan bahwa Hana lebih dikasihi oleh Elkana. Kekesalan dan rasa iri hati Penina terungkap dalam tindakannya terhadap Hana. Ia selalu menyakiti hati Hana dan berusaha membuatnya marah. Yang selalu dijadikan bahan hinaan terhadap Hana adalah: “Tuhan telah menutup kandungannya.”
Dari tahun ke tahun ketika mereka pergi ke rumah Tuhan, Penina selalu menghina Hana. Hana sungguh-sungguh sedih dan sakit hati. Puncaknya, dalam suatu upacara kurban, Hana menangis dan tidak mau makan bagian persembahan yang diberikan kepadanya. Melihat itu, Elkana berusaha menghiburnya. Ia menyatakan kepada Hana agar tidak perlu bersedih karena tidak mempunyai anak. Elkana mengingatkan bahwa ia amat mengasihinya.
Saudara-saudari terkasih, ketika orang tidak senang melihat keuntungan atau kegembiraan yang dialami oleh sesamanya, ia bisa jatuh dalam sikap iri hati. Sikap iri yang bermula dari mata yang melihat dan telinga yang mendengar itu bisa terungkap dalam tindakan negatif terhadap sesama, seperti menghina, memfitnah, dan sebagainya. Bacaan pertama hari ini mengingatkan kita untuk waspada terhadap kemungkinan untuk menjadi iri hati dan membiarkan diri dikuasai oleh rasa iri. Sikap ini tidak hanya membuat diri sendiri menjadi budak dosa, tetapi juga menyengsarakan orang lain.