Pengalaman “Imanuel”

Minggu, 22 Desember 2019 – Hari Minggu Adven IV

231

Matius 1:18-24

Kelahiran Yesus Kristus adalah seperti berikut: Pada waktu Maria, ibu-Nya, bertunangan dengan Yusuf, ternyata ia mengandung dari Roh Kudus, sebelum mereka hidup sebagai suami istri. Karena Yusuf suaminya, seorang yang tulus hati dan tidak mau mencemarkan nama istrinya di muka umum, ia bermaksud menceraikannya dengan diam-diam. Tetapi ketika ia mempertimbangkan maksud itu, malaikat Tuhan nampak kepadanya dalam mimpi dan berkata: “Yusuf, anak Daud, janganlah engkau takut mengambil Maria sebagai istrimu, sebab anak yang di dalam kandungannya adalah dari Roh Kudus. Ia akan melahirkan anak laki-laki dan engkau akan menamakan Dia Yesus, karena Dialah yang akan menyelamatkan umat-Nya dari dosa mereka.” Hal itu terjadi supaya genaplah yang difirmankan Tuhan oleh nabi: “Sesungguhnya, anak dara itu akan mengandung dan melahirkan seorang anak laki-laki, dan mereka akan menamakan Dia Imanuel” — yang berarti: Allah menyertai kita. Sesudah bangun dari tidurnya, Yusuf berbuat seperti yang diperintahkan malaikat Tuhan itu kepadanya. Ia mengambil Maria sebagai istrinya.

***

Suatu kisah diceritakan oleh Anthony de Mello. Alkisah, seorang kepala biara datang kepada seorang bijak. Ia berkata, “Kami memiliki masalah di biara kami. Sudikah Tuan mengunjungi kami dan memberikan nasihat bagi para anggota biara?” Si orang bijak menjawab, “Baiklah! Saya akan tinggal bersama kalian selama satu minggu.” Selama seminggu di biara tersebut, si orang bijak melihat bahwa tidak ada kebahagiaan yang terpancar dari para anggota biara. Setiap orang melakukan pekerjaannya dengan bersungut-sungut dan penuh keterpaksaan. Satu sama lain saling menyalahkan dan mencurigai, bahkan setiap orang merasa bahwa dirinyalah yang paling benar dan berhak mengatur yang lain. 

Pada hari terakhir, si orang bijak berkata kepada kepala biara, “Tahukah Anda bahwa Mesias telah menjelma menjadi manusia dan kini tinggal di biara ini?” Kepala biara terkejut, “Benarkah? Siapa di antara kami yang menjadi penjelmaan sang Mesias?” Si orang bijak tersenyum dan berkata, “Tugas Anda dan semua anggota biara untuk mencari tahu siapa penjelmaan sang Mesias itu.”

Sepeninggal si orang bijak, perubahan besar terjadi dalam biara itu. Setiap orang memperlakukan yang lain dengan baik dan penuh hormat karena setiap orang berpikir, “Jangan-jangan dia ini sang Mesias.” Mereka mengerjakan tugas dengan penuh semangat dan sukacita karena setiap orang berpikir, “Saya akan memberikan yang terbaik bagi Mesias.” Biara itu kini diliputi kegembiraan dan para anggotanya memperlakukan sesama dengan penuh kasih.

Apa yang bisa kita petik dari cerita di atas? Ketika kita bisa melihat kehadiran Allah dalam diri setiap pribadi, maka kita akan menerima orang lain dengan penuh kasih dan sukacita. Hal ini juga yang terjadi dalam bacaan Injil hari ini.

Mendengar Maria telah mengandung, Yusuf berpikir bahwa ini adalah persoalan besar. Bagaimana dia bisa menerima Maria dalam keadaan demikian? Menurut tradisi waktu itu, bila seorang wanita mengandung tanpa suami, wanita itu dianggap berzina dan layak dihukum rajam. Kendati Maria sudah bertunangan dengan Yusuf, mereka belum menjadi pasangan suami istri yang sah. Oleh karena itu, Yusuf bisa membawa Maria ke hadapan pengadilan agama agar mendapatkan hukuman setimpal. Namun, ia tidak melakukan hal itu. Yusuf mempertimbangkan untuk mengambil jalan yang berbeda. Dia ingin meninggalkan Maria secara diam-diam.

Di tengah kegalauannya, Yusuf mengalami “Imanuel” atau Allah yang menyertai. Allah menyertai dia dalam kebimbangannya. Allah hadir saat keputusan sulit harus diambilnya. Allah, yang hadir melaui malaikat yang tampak dalam mimpi, menyampaikan kepada Yusuf bahwa bayi yang ada di dalam kandungan Maria adalah Imanuel. Sejak saat itu, Yusuf mengubah keputusannya dan menerima Maria dengan hati tulus.

Dari Injil hari ini, kita belajar bahwa “Imanuel” adalah pengalaman nyata akan Allah yang hadir dalam hidup. Pengalaman kehadiran Allah ini mengubah sikap seseorang dari sikap curiga menjadi sikap menerima dengan tangan terbuka; dari keinginan meninggalkan menjadi teman seperjalanan hidup; dari kegalauan menjadi sukacita.

Pada Minggu Adven yang terakhir ini, kita diajak untuk merenungkan bahwa kehadiran Allah mengubah sikap kita dalam memandang dan memperlakukan orang lain. Apakah kita bisa menerima kekurangan dan kelebihan orang lain? Apakah kita telah mencintai dan memperlakukan orang lain dengan penuh hormat?