Lukas 17:11-19
Dalam perjalanan-Nya ke Yerusalem Yesus menyusur perbatasan Samaria dan Galilea. Ketika Ia memasuki suatu desa datanglah sepuluh orang kusta menemui Dia. Mereka tinggal berdiri agak jauh dan berteriak: “Yesus, Guru, kasihanilah kami!” Lalu Ia memandang mereka dan berkata: “Pergilah, perlihatkanlah dirimu kepada imam-imam.” Dan sementara mereka di tengah jalan mereka menjadi tahir. Seorang dari mereka, ketika melihat bahwa ia telah sembuh, kembali sambil memuliakan Allah dengan suara nyaring, lalu tersungkur di depan kaki Yesus dan mengucap syukur kepada-Nya. Orang itu adalah seorang Samaria. Lalu Yesus berkata: “Bukankah kesepuluh orang tadi semuanya telah menjadi tahir? Di manakah yang sembilan orang itu? Tidak adakah di antara mereka yang kembali untuk memuliakan Allah selain dari orang asing ini?” Lalu Ia berkata kepada orang itu: “Berdirilah dan pergilah, imanmu telah menyelamatkan engkau.”
***
Lukas menyajikan gambaran orang yang sungguh beriman melalui perumpamaan tentang sepuluh orang sakit kusta yang amat ingin sembuh. Dalam tradisi, angka sepuluh menyimbolkan ketaatan total. Dari kisah ini, kita bisa merasakan bahwa hanya satu orang yang sungguh-sungguh memiliki ketaatan sempurna kepada Allah. Orang itu adalah orang Samaria yang kembali kepada Yesus untuk bersyukur atas kesembuhannya.
Kesepuluh orang kusta itu sudah pasti amat sangat menderita karena penyakit mereka tersebut. Gara-gara mengidap kusta, mereka harus diasingkan dari masyarakat. Orang-orang itu sungguh berharap pulih dah sembuh, sehingga bisa kembali ke dalam kehidupan yang normal di tengah masyarakat. Mereka memanggil Yesus demi kesembuhan, tetapi saat kesembuhan itu tiba hanya satu yang kembali kepada Tuhan. Yang lain menghilang begitu saja, melupakan rahmat dan berkat kesembuhan itu.
Kisah ini kiranya bisa menjadi bahan instrospeksi bagi kita semua sebagai umat beriman. Iman mengandaikan ketaatan total kepada Allah. Saya sungguh belajar dari seorang sahabat Yesuit, Rm. Tom O’Gorman SJ, pembimbing rohani saya saat di Manila, yang mengatakan kepada saya bahwa ketaatan iman baru teruji saat seseorang merasakan ketidakberdayaan, tetapi dirinya tetap bertahan untuk setia dan berbalik kepada Tuhan.
Beriman selalu bermula dari pengalaman syukur atas segala hal yang kita alami, entah itu menyenangkan ataupun sebaliknya. Di balik itu kita belajar untuk memaknai setiap jengkal pengalaman bahwa Tuhan selalu hadir dalam keseluruhan hidup kita.
Saudara-saudari sekalian, apakah diri kita seperti satu orang kusta yang kembali kepada Yesus? Ataukah kita seperti sembilan orang yang lain? Maukah kita belajar seperti orang Samaria itu yang tahu arti beriman dan bersyukur?