Memohon Iman yang Teguh

Minggu, 6 Oktober 2019 – Hari Minggu Biasa XXVII

164

Lukas 17:5-10

Lalu kata rasul-rasul itu kepada Tuhan: “Tambahkanlah iman kami!” Jawab Tuhan: “Kalau sekiranya kamu mempunyai iman sebesar biji sesawi saja, kamu dapat berkata kepada pohon ara ini: Terbantunlah engkau dan tertanamlah di dalam laut, dan ia akan taat kepadamu.”

“Siapa di antara kamu yang mempunyai seorang hamba yang membajak atau menggembalakan ternak baginya, akan berkata kepada hamba itu, setelah ia pulang dari ladang: Mari segera makan! Bukankah sebaliknya ia akan berkata kepada hamba itu: Sediakanlah makananku. Ikatlah pinggangmu dan layanilah aku sampai selesai aku makan dan minum. Dan sesudah itu engkau boleh makan dan minum. Adakah ia berterima kasih kepada hamba itu, karena hamba itu telah melakukan apa yang ditugaskan kepadanya? Demikian jugalah kamu. Apabila kamu telah melakukan segala sesuatu yang ditugaskan kepadamu, hendaklah kamu berkata: Kami adalah hamba-hamba yang tidak berguna; kami hanya melakukan apa yang kami harus lakukan.”

***

Apa yang dapat dilakukan oleh orang yang memiliki iman yang teguh? Ia dapat melakukan segala sesuatu, bahkan yang mustahil sekalipun. Demikianlah yang ditegaskan Yesus ketika para rasul meminta, “Tambahkanlah iman kami!”

Menurut Yesus, dengan iman yang teguh, kita bahkan akan dapat memerintahkan sebatang pohon untuk pindah ke laut. Ungkapan yang luar biasa ini boleh saja memukau kita, tetapi hendaknya tidak dilepaskan dari konteksnya. Para murid masih berpikir tentang iman yang jumlahnya sedikit atau banyak. Sementara mereka melihat iman dari segi kuantitas, Yesus lebih melihat segi kualitasnya. Permintaan para rasul tidak ditanggapi-Nya secara langsung, Yesus malah bicara tentang iman sebesar biji sesawi: kecil, namun bermutu tinggi, dan bahkan mampu melakukan hal-hal yang besar.

Apakah dengan demikian mau dikatakan bahwa jika memiliki iman yang kuat, kita akan mampu mencabuti pohon-pohon di hutan lalu melemparkannya ke laut? Tentu tidak demikian. Dengan penggambaran yang dahsyat itu, Yesus mau menegaskan bahwa iman memiliki kekuatan yang luar biasa besar.

Yesus juga mengajarkan bahwa untuk meningkatkan mutu iman kita, yang diperlukan adalah sikap rendah hati. Sebuah perumpamaan tentang seorang hamba dengan tuannya Ia ceritakan untuk menjelaskan hal ini. Dalam konteks budaya saat itu, hamba adalah budak yang tidak mempunyai hak apa-apa. Seorang hamba sepenuhnya menjadi milik tuannya. Ia bekerja tanpa bayaran, tidak juga mendapatkan sekadar ucapan terima kasih.

Demikianlah, kita hendaknya melakukan sesuatu dengan rela hati, tanpa memperhitungkan jasa atau upah. Perlu diperhatikan bahwa perumpamaan ini tidak berbicara soal dunia kerja. Yesus mengangkat perumpamaan itu untuk menanggapi permintaan para rasul sebelumnya. Menurut-Nya, seorang hamba Tuhan hendaknya tidak usah menuntut apa-apa. Hamba itu seharusnya sepenuh-penuhnya mengandalkan Allah. Iman akan dianugerahkan kepadanya berkat kemurahan hati Allah, bukan sebagai ganjaran atas jasa-jasa yang telah dilakukannya.