Lukas 6:20-26
Lalu Yesus memandang murid-murid-Nya dan berkata: “Berbahagialah, hai kamu yang miskin, karena kamulah yang empunya Kerajaan Allah. Berbahagialah, hai kamu yang sekarang ini lapar, karena kamu akan dipuaskan. Berbahagialah, hai kamu yang sekarang ini menangis, karena kamu akan tertawa. Berbahagialah kamu, jika karena Anak Manusia orang membenci kamu, dan jika mereka mengucilkan kamu, dan mencela kamu serta menolak namamu sebagai sesuatu yang jahat. Bersukacitalah pada waktu itu dan bergembiralah, sebab sesungguhnya, upahmu besar di surga; karena secara demikian juga nenek moyang mereka telah memperlakukan para nabi. Tetapi celakalah kamu, hai kamu yang kaya, karena dalam kekayaanmu kamu telah memperoleh penghiburanmu. Celakalah kamu, yang sekarang ini kenyang, karena kamu akan lapar. Celakalah kamu, yang sekarang ini tertawa, karena kamu akan berdukacita dan menangis. Celakalah kamu, jika semua orang memuji kamu; karena secara demikian juga nenek moyang mereka telah memperlakukan nabi-nabi palsu.”
***
Ketika ditanya, orang kemungkinan akan menjawab bahwa tujuan hidup manusia adalah kebahagiaan, tepatnya kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Karena itu, tidak mengherankan bahwa dalam kehidupan ini orang berjuang mencari kebahagiaan. Namun, cukup banyak orang berpikir bahwa kebahagiaan itu terletak pada banyaknya materi, berupa uang dan harta yang dimiliki. Yang lain mengatakan bahwa bahagia itu ketika kita mempunyai banyak teman yang mencintai dan menerima kita. Jadi, di manakah sebenarnya letak kebahagiaan itu?
Sangat disayangkan bahwa bagi banyak orang, kebahagiaan tidak terletak pada diri masing-masing, tetapi terletak pada orang lain. Orang-orang ini menggantungkan kebahagiaan mereka pada ada atau tidaknya pihak lain, pada bagaimana sikap pihak lain terhadap mereka. Orang-orang ini juga suka membanding-bandingkan diri mereka dengan pihak lain, betapa pihak lain lebih bahagia daripada mereka, betapa rumput tetangga lebih hijau daripada rumput sendiri. Orang-orang seperti ini harus disadarkan bahwa kebahagiaan itu ada di dalam diri mereka, bukan berada nan jauh di sana.
Bacaan Injil hari ini menampilkan sebuah paradoks. Yang miskin, kelaparan, menangis, dibenci, dan dikucilkan disebut berbahagia oleh Yesus, sementara yang kenyang dan tertawa malah disebut-Nya celaka. Bagaimana kontradiksi ini kita sikapi? Mungkinkah seseorang berbahagia ketika dirinya miskin, kelaparan, menangis, dan dibenci orang?
Yesus dengan sabda yang mengejutkan itu sesungguhnya hendak mengajarkan bahwa kebahagiaan itu terletak dalam diri masing-masing orang. Manakala seseorang memiliki dan merasa penuh dengan cinta dan kedekatan dengan Allah, saat itulah kebahagiaan ada bersamanya. Manakala seseorang merasa bahwa Allah sungguh hadir dan merajai seluruh hidupnya, saat itulah kebahagiaan ada bersamanya. Kekurangan tidak identik dengan penderitaan manakala diri seseorang dipenuhi oleh kasih Allah. Situasi sulit, dibenci, dan dikucilkan tidak identik dengan keadaan yang tidak bahagia manakala seseorang masih memiliki kasih Allah yang lebih besar dibandingkan semua persoalan itu. Karena itu, benarlah yang dikatakan Yesus berikut ini, “Carilah Kerajaan-Nya, maka semuanya itu akan ditambahkan juga kepadamu.”
Saudara-saudari yang terkasih, pahamilah bahwa kebahagiaan letaknya bukan di luar sana, melainkan di sini, di dalam hati kita ini, yakni ketika hati kita penuh dengan cinta Tuhan. Ketika kita mampu menyelaraskan kehendak, pikiran, dan rencana kita dengan kehendak, pikiran, dan rencana Tuhan, saat itulah kebahagiaan hadir. Ketika kita mampu mensyukuri dan menerima kehidupan yang kita jalani saat ini, saat itulah kebahagiaan kita rasakan. Ketika kita memiliki cinta dan kasih Tuhan sebagai sesuatu yang paling berharga dan bermakna dalam kehidupan ini, saat itulah kita mengalami kebahagiaan yang sejati.