Lukas 9:22-25
Dan Yesus berkata: “Anak Manusia harus menanggung banyak penderitaan dan ditolak oleh tua-tua, imam-imam kepala dan ahli-ahli Taurat, lalu dibunuh dan dibangkitkan pada hari ketiga.” Kata-Nya kepada mereka semua: “Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya setiap hari dan mengikut Aku. Karena barangsiapa mau menyelamatkan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya; tetapi barangsiapa kehilangan nyawanya karena Aku, ia akan menyelamatkannya. Apa gunanya seorang memperoleh seluruh dunia, tetapi ia membinasakan atau merugikan dirinya sendiri?”
***
Dalam sebuah kesempatan, yakni saat makan malam memperingati wafatnya seorang imam, saya mendengar riwayat imam tersebut dibacakan. Kalimatnya kurang lebih seperti ini, “Ia adalah pribadi yang sederhana. Hal itu tampak dari sedikitnya barang-barang yang ia miliki. Pakaiannya sedikit dan terbatas, bahkan ada yang robek-robek.” Imam ini agaknya benar-benar ingin meneladan pribadi Yesus.
Kemiskinan dan kesederhanaan memang merupakan salah satu bentuk semangat orang yang mau mengikut Yesus. Yesus sendiri menyebut hal itu dalam bacaaan Injil hari ini. Ia bahkan menyatakan bahwa para pengikut-Nya harus siap kehilangan nyawa demi Dia. Pernyataan ini benar-benar tajam dan melawan arus. Para pemimpin biasanya menawarkan hal-hal yang menarik agar semakin banyak orang datang kepada mereka. Beberapa bahkan sampai menghalalkan segala cara demi terwujudnya kepentingan dan ambisi pribadi. Yesus tidak seperti itu.
Namun, bagaimana dengan kita? Kita semua bisa jatuh pada kecenderungan yang buruk itu. Itu terjadi kalau kita selalu merasa tidak cukup. Sering kali kita merasa haus dan lapar akan keinginan-keinginan diri. Kita mengejar puji-pujian dari orang lain tanpa kenal lelah. Kita berusaha terus untuk memuaskan berbagai macam nafsu kita. Pada akhirnya, kita menjadi pribadi-pribadi yang lemah dan terjajah. Kita kehilangan rasa bersalah, serta merasa diri selalu benar dan paling benar.
Sabda Tuhan hari ini mengajak kita untuk berani lepas bebas. Kita dipanggil untuk berani berdiri bebas kepada kehendak Allah. Semakin kita terarah kepada Allah, semakin kita keluar dari diri kita dan berani melawan keterpusatan pada diri sendiri. Yesus sudah melakukannya, dan itulah yang Ia pancarkan dalam peristiwa penyaliban. Di kayu salib, Ia menanggalkan segala kuasa dan kemuliaan-Nya. Di kayu salib pula, Ia melepaskan segala kemungkinan bahwa Ia sebenarnya dapat membuat orang kagum kepada-Nya kalau saja Ia mau mempertontonkan kuasa dan kekuasaan yang Ia miliki.
Hal yang sama diminta Tuhan kepada kita. Ia meminta kita untuk menemukan salib kita masing-masing, serta memanggulnya untuk keselamatan kita dan kemuliaan nama Tuhan. Ia mengharapkan kita untuk berani mengenal dan memanggul salib kita. Dengan demikian, kita semakin mampu mengendalikan diri kita sendiri, alih-alih dikontrol dan dikemudikan oleh kenikmatan-kenikmatan dangkal.