Markus 3:31-35
Lalu datanglah ibu dan saudara-saudara Yesus. Sementara mereka berdiri di luar, mereka menyuruh orang memanggil Dia. Ada orang banyak duduk mengelilingi Dia, mereka berkata kepada-Nya: “Lihat, ibu dan saudara-saudara-Mu ada di luar, dan berusaha menemui Engkau.” Jawab Yesus kepada mereka: “Siapa ibu-Ku dan siapa saudara-saudara-Ku?” Ia melihat kepada orang-orang yang duduk di sekeliling-Nya itu dan berkata: “Ini ibu-Ku dan saudara-saudara-Ku! Barangsiapa melakukan kehendak Allah, dialah saudara-Ku laki-laki, dialah saudara-Ku perempuan, dialah ibu-Ku.”
***
Tahun lalu, bulan Januari 2018, ketika kami ditahbiskan menjadi diakon dan memulai perutusan di tempat masing-masing, satu hal saya sadari bahwa kelak tidak akan pernah lagi saya merayakan hari besar keagamaan bersama keluarga. Mengapa? Karena, justru tatkala hari besar keagamaan tiba, saya harus melayani kebutuhan rohani segenap umat di tempat saya diutus. Dari situ saya mencoba berefleksi bahwa menjadi imam memanglah keinginan saya pribadi, sehingga saya harus mampu menjalankan segala konsekuensi yang ada di dalamnya. Pekerjaan saya adalah mengabdi pada hal-hal yang benar, dan itu tidak akan sia-sia. Kesia-siaan akan terjadi jika tugas-tugas tersebut dilakukan dalam nuansa keraguan. Allah pun tak pernah ragu-ragu untuk mengasihi manusia. Ia tidak pernah merasa sia-sia mengorbankan anak-Nya demi kita semua. Artinya, bagi hidup saya, saya bukan lagi milik keluarga belaka, melainkan telah merelakan diri menjadi milik Gereja, khususnya Gereja Keuskupan Purwokerto.
Refleksi tersebut terlintas cepat ketika saya membaca Injil hari ini. Yesus mengatakan, “Barangsiapa melakukan kehendak Allah, dialah saudara-Ku laki-laki, dialah saudari-Ku perempuan dan dialah Ibu-Ku!” Yesus kiranya bukan hendak “melepaskan” diri dari keluarga-Nya. Ucapan itu juga tidak bernuansa “durhaka.” Justru Yesus menyadarkan orang banyak bahwa Dia membuka diri bagi mereka. Artinya, Yesus tidak membuat benteng eksklusif dalam mengklasifikasikan keluarga-Nya, tetapi memberikan peluang bagi banyak orang untuk menjadi bagian dari bangunan keluarga-Nya. Intinya, siapa pun mempunyai hak untuk menjadi keluarga Yesus. Memang secara biologis Yesus merupakan keluarga Yusuf, tetapi ada jenis keluarga lain yang ingin Yesus bangun, yakni keluarga iman. Dengan setia melakukan kehendak Allah, siapa pun diizinkan untuk menyatakan diri sebagai anggota keluarga Yesus.
Karena itu, satu-satunya cara untuk menikmati hak tersebut adalah bersedia dekat dan hidup bersama Yesus dan ajaran-ajaran-Nya. Yesus bahkan tidak berdiam diri menunggu kedatangan orang. Dia sendiri yang “jemput bola” dengan mendatangi orang-orang berdosa dan mengajar di berbagai tempat. Itulah ciri ajaran Yesus yang tidak hanya diperuntukkan bagi orang-orang tertentu. Ajaran Yesus adalah untuk semua orang, sehingga bisa terwariskan secara sempurna sampai pada kita sekarang ini. Keluarga iman yang dibangun Yesus membentuk kesatuan dari beragam perbedaan. Dengan semakin beragamnya perbedaan, kesatuan semakin penting untuk diusahakan demi kesempurnaan iman dalam hidup masing-masing anggota keluarga.
Hari ini Yesus mengajarkan bahwa ajaran yang Dia bawa seyogianya disebarluaskan, sehingga semakin banyak orang berkesempatan menjadi anggota keluarga-Nya. Ajaran Yesus tidak eksklusif dan terbatas, tetapi luas dan terbuka bagi siapa saja. Siapa pun berhak untuk menjadi keluarga Yesus dengan bersedia dekat dan – sekali lagi – setia melaksanakan kehendak Allah. Sebagai anggota keluarga Yesus, semoga kita pun mampu ambil bagian dalam menyebarluaskan ajaran-Nya. Refleksi semacam ini mendorong saya untuk semakin berani menyerahkan diri pada perutusan dengan bersedia menyebarluaskan keluarga iman. Bukankah ini menjadi tugas perutusan kita bersama sebagai umat-Nya?