Ciri-ciri fisik usia lanjut
Tidak perlu disangkal bahwa usia lanjut ditandai oleh perubahan fisik. Coba kita mengamati dan menyikapinya bersama-sama dalam Alkitab. Pada umur 120 tahun “matanya belum kabur dan kekuatannya belum hilang” (Ul. 34:7), tetapi itu hanya untuk cerita Musa. Bersama Samuel, pada suatu hari kita harus mengatakan, “Aku ini telah menjadi tua dan beruban” (1Sam. 12:2). Bersama pemazmur, kita hendaknya berdoa, “Sampai masa tuaku dan putih rambutku, ya Allah, janganlah meninggalkan aku” (Mzm. 71:18). Melalui kitab Amsal, Allah berbisik kepada kita, “Rambut putih adalah mahkota kemuliaan” (Ams. 16:31).
Banyak orang lansia yang buta, tuli, dan mati rasa pada zaman Ishak, Eli, atau Daud sekarang ini barangkali bisa ditolong oleh alat-alat medis dan pembedahan. Namun, bahkan sekarang pun sebagian orang yang “telah berumur delapan puluh tahun” tetap harus berkata seperti Barzilai kepada Raja Daud, “Masakan aku masih dapat membedakan antara yang baik dan yang tidak baik? Atau masih dapatkah hambamu ini merasai apa yang hamba makan atau apa yang hamba minum? Atau masih dapatkah aku mendengarkan suara penyanyi laki-laki dan penyanyi perempuan?” (2Sam. 19:35). Usia lanjut membuat fungsi panca indra melemah. Sara yang tua blak-blakan mengungkapkan hilangnya pula fungsi reproduksi dan berkurangnya kenikmatan seksual ketika dari belakang pintu kemahnya ia meledek janji tamu-tamunya dengan berseloroh, “Akan berahikah aku, setelah aku sudah layu, sedangkan tuanku sudah tua?” (Kej. 18:12). Fisik yang sudah menua tidak lagi dapat membangkitkan hidup fisik yang baru.
Usia lanjut juga membuat kekuatan fisik berkurang. Bahkan dalam nubuat pengharapan indah Nabi Zakharia tentang penduduk-penduduk yang akan ada lagi di jalan-jalan Yerusalem, tetaplah dikatakan bahwa “kakek-kakek dan nenek-nenek masing-masing memegang tongkat karena lanjut usianya” (Za. 8:4). Kembali Amsal meneguhkan dengan hikmatnya: “Hiasan orang muda ialah kekuatannya, dan keindahan orang tua ialah uban” (Ams. 20:29). Memang, “Allah membuat segala sesuatu indah pada waktunya,” kata Pengkhotbah (Pkh. 3:11). Oleh karena itu ia menganjurkan, “Bersukarialah, hai pemuda, dalam kemudaanmu, biarlah hatimu bersuka pada masa mudamu” (Pkh. 11:9). Sebab, menurut Pengkhotbah, tidak ada kesenangan di hari tua.
Pengkhotbah mengiaskan masa kemerosotan mata, tangan, kaki, gigi, telinga, selera, dan sebagainya dalam alegorinya yang agak karikatur: “Pada waktu penjaga-penjaga rumah (tangan) gemetar, dan orang-orang kuat (kaki) membungkuk, dan perempuan-perempuan penggiling (gigi) berhenti karena berkurang jumlahnya, dan yang melihat dari jendela (mata) semuanya menjadi kabur, dan pintu-pintu di tepi jalan (telinga) tertutup, dan bunyi penggilingan menjadi lemah, dan suara menjadi seperti kicauan burung, dan semua penyanyi perempuan tunduk, juga orang menjadi takut tinggi, dan ketakutan ada di jalan, pohon badam (rambut putih) berbunga, belalang menyeret dirinya (bertongkat) dengan susah payah dan nafsu tak dapat dibangkitkan lagi karena manusia pergi ke rumahnya yang kekal” (12:2-5).
Tanpa menyangkal kemunduran fisik, kita bersama kitab-kitab lain tidak perlu menyerah kepada gambaran berat sebelah dan pesimistis ala kitab Pengkhotbah. Ada pilihan lain.
(Bersambung)