Bukan Hanya Menjalankan Aturan

Selasa, 22 Januari 2019 – Hari Biasa Pekan II

182

Markus 2:23-28

Pada suatu kali, pada hari Sabat, Yesus berjalan di ladang gandum, dan sementara berjalan murid-murid-Nya memetik bulir gandum. Maka kata orang-orang Farisi kepada-Nya: “Lihat! Mengapa mereka berbuat sesuatu yang tidak diperbolehkan pada hari Sabat?” Jawab-Nya kepada mereka: “Belum pernahkah kamu baca apa yang dilakukan Daud, ketika ia dan mereka yang mengikutinya kekurangan dan kelaparan, bagaimana ia masuk ke dalam Rumah Allah waktu Abyatar menjabat sebagai Imam Besar lalu makan roti sajian itu — yang tidak boleh dimakan kecuali oleh imam-imam — dan memberinya juga kepada pengikut-pengikutnya?” Lalu kata Yesus kepada mereka: “Hari Sabat diadakan untuk manusia dan bukan manusia untuk hari Sabat, jadi Anak Manusia adalah juga Tuhan atas hari Sabat.”

***

Tahun 2004 saya menjalani masa Tahun Orientasi Rohani, masa pembinaan sebagai calon imam diosesan sebelum ke seminari tinggi. Suatu kali teman saya merasa tidak enak badan dan minta diantar ke tukang pijat. Saya merelakan diri mengantarnya, tetapi saat itu saya tidak bisa minta izin kepada romo pamong. Dua orang romo pamong kami sedang tidak berada di rumah. Saya memberanikan diri untuk mengantar teman saya tanpa izin. Setelah kembali saya menemui seorang romo pamong yang telah kembali ke komunitas dan mengatakan apa yang telah saya lakukan. Beliau tidak menyalahkan saya dan menilai keputusan saya benar.

Kita menemukan banyak konflik antara Yesus dan pemimpin agama Yahudi. Salah satu masalah yang mengemuka adalah soal aturan keagamaan. Injil hari ini mengisahkan murid-murid Yesus memetik bulir gandum ketika mereka melintasi ladang gandum dan hari itu adalah hari Sabat. Orang Farisi yang melihat tindakan mereka menilai para murid Yesus melanggar aturan hari Sabat. Yesus memberi jawaban dengan merujuk apa yang dilakukan Daud dalam 1Sam. 21:1-6.

Dari jawaban yang diberikan kepada kaum Farisi, Yesus menegaskan yang paling utama dari aturan hari Sabat. Kalau merujuk pada sejarah hari Sabat dalam iman Yahudi, kita menemukan kaitan hari kudus itu dengan karya penciptaan dan penyelamatan bangsa Israel dari Mesir. Sabat menjadi pengenangan akan Allah yang menunjukkan cinta kasih kepada manusia. Penghormatan pada hari Sabat seharusnya memupuk orang dalam semangat cinta kasih.

Bertolak dari Injil ini, kita bisa merenungkan bagaimana kita menghayati kehidupan keagamaan kita. Ukuran kesalehan bukan hanya pada kesetiaan memenuhi kewajiban agama, tetapi juga bagaimana iman dinyatakan dalam hidup.

Sebagai orang Katolik, kita mengenal ungkapan dalam bahasa Latin: lex credendi, lex orandi, dan lex vivendi. Kita memiliki iman yang kita pecayai atau kita yakini (lex credendi). Iman itu kita rayakan dalam liturgi atau doa-doa kita (lex orandi). Namun, tidaklah cukup kalau iman itu sekadar dirayakan. Kita harus menghidupi iman itu dalam hidup keseharian kita (lex vivendi). Iman yang kita hidupi mesti berbuah. Semoga kita setia dalam merayakan iman melalui doa-doa kita dan karenanya semakin bertumbuh dalam semangat cinta.