Markus 1:40-45
Seorang yang sakit kusta datang kepada Yesus, dan sambil berlutut di hadapan-Nya ia memohon bantuan-Nya, katanya: “Kalau Engkau mau, Engkau dapat mentahirkan aku.” Maka tergeraklah hati-Nya oleh belas kasihan, lalu Ia mengulurkan tangan-Nya, menjamah orang itu dan berkata kepadanya: “Aku mau, jadilah engkau tahir.” Seketika itu juga lenyaplah penyakit kusta orang itu, dan ia menjadi tahir. Segera Ia menyuruh orang itu pergi dengan peringatan keras: “Ingatlah, janganlah engkau memberitahukan apa-apa tentang hal ini kepada siapa pun, tetapi pergilah, perlihatkanlah dirimu kepada imam dan persembahkanlah untuk pentahiranmu persembahan, yang diperintahkan oleh Musa, sebagai bukti bagi mereka.” Tetapi orang itu pergi memberitakan peristiwa itu dan menyebarkannya kemana-mana, sehingga Yesus tidak dapat lagi terang-terangan masuk ke dalam kota. Ia tinggal di luar di tempat-tempat yang sepi; namun orang terus juga datang kepada-Nya dari segala penjuru.
***
Merenungkan kisah orang kusta yang disembuhkan membuat saya teringat pada pengalaman seorang teman. Teman saya ini memiliki seorang kekasih yang menurutnya paling cantik sedunia. Meski pujian itu agak berlebihan, saya lihat keduanya memang lumayan serasi. Sayang, kebahagiaan mereka tidak berlangsung lama. Bagaikan kisah drama di televisi, nasib malang mendadak menghampiri pasangan yang penuh cinta ini. Ketika mereka hendak melangkah ke jenjang yang lebih serius, sang kekasih terkena penyakit kanker, dan menurut dokter hidupnya tidak lama lagi akan berakhir.
Mereka tentu saja terkejut mendengar kabar buruk itu. Perasaan sedih, bingung, marah, dan kecewa campur aduk dalam benak mereka. Namun, keduanya berkomitmen untuk tetap bersama. Sejak saat itu, selain rutin pergi ke dokter, mereka tampak rajin bertemu dengan imam untuk minta peneguhan, sekaligus melepas beban dan bertukar pikiran. Setiap pagi saya lihat mereka juga mengikuti perayaan Ekaristi dengan satu permohonan utama: kiranya Tuhan sudi memberikan kesembuhan. “Kalau Tuhan mau, Tuhan pasti bisa menyembuhkan dia,” kata teman saya penuh harap. Sayang, memenuhi perkiraan para dokter, tidak berapa lama kemudian kekasihnya itu meninggal.
Hari ini, dalam bacaan Injil, kita mendengarkan kisah penyembuhan orang kusta. Kisah yang luar biasa ini tidak lain merupakan pernyataan iman jemaat Gereja perdana akan kuasa Yesus dan akan kehadiran Kerajaan Allah dalam diri-Nya. Tanpa rasa segan Yesus menyentuh orang kusta itu. Ini menunjukkan penolakan-Nya pada pemisahan-pemisahan yang dibuat oleh manusia, dalam hal ini institusi agama. Mudah sekali mereka menyebut sesuatu sebagai tahir dan menuduh yang lain sebagai najis. Keputusan mereka bagaikan vonis dalam sidang pengadilan. Tidakkah mereka berpikir bahwa vonis itu menentukan jalan hidup seseorang? Apakah mereka tidak sadar bahwa cap najis dapat menghancurkan hidup seorang anak manusia? Stigma najis menambah berat penderitaan orang yang sakit kusta. Yesus tergerak untuk memulihkan hidup orang itu karena bagi-Nya keselamatan adalah hak setiap orang tanpa kecuali.
Terinspirasi oleh kisah tersebut, kita semua – terutama ketika sakit – juga menaruh harapan kepada belas kasihan Yesus, apalagi kalau sakit itu tergolong berat dan mematikan. Dengan sepenuh hati kita percaya akan kuasa-Nya, dengan sepenuh jiwa kita memohon kepada-Nya agar disembuhkan. Syukur kepada Allah kalau permohonan itu kemudian dikabulkan. Namun, kalau kesembuhan tidak juga kunjung menghampiri kita, jangan lalu merasa kecewa.
Jangan sampai kita marah kepada Tuhan, menuduh-Nya tidak mau menyembuhkan kita, menuduh-Nya tidak adil, tidak peduli, dan tidak mengasihi kita. Kita beriman kepada-Nya bukan demi mukjizat. Yang justru harus selalu diingat, sebagai murid Kristus, kita mengemban tugas untuk mewartakan kehadiran Kerajaan Allah. Tugas itu melekat dalam diri kita dalam keadaan sehat maupun sakit. Siapa tahu sakit itu justru merupakan sarana bagi kita untuk memuliakan kebaikan Allah Bapa di surga?