Bukan kitab kenabian, bukan pula kitab sejarah
Kitab Yunus sesungguhnya memuat pesan dan pengajaran yang sangat mendalam. Sayang sekali kalau hal ini tidak sampai kepada kita sebagai pembaca Alkitab, hanya karena belum-belum kita sudah enggan membaca kitabnya. Agar pesan dan pengajaran kitab Yunus dapat dipahami dengan baik, pertama-tama kita harus memiliki sudut pandang yang tepat, yakni bahwa kitab Yunus bukanlah kitab kenabian, bukan pula kitab sejarah. Kitab ini lebih tepat dilihat sebagai kitab pengajaran yang berbentuk perumpamaan dengan gaya satire.[1]
Tradisi memang menggolongkan kitab Yunus sebagai kitab kenabian, yakni sebagai satu di antara dua belas kitab “nabi-nabi kecil.” Namun, kalau kitab ini kita sandingkan dengan kitab-kitab kenabian yang lain – sebut saja Amos, Hosea, maupun Yesaya – dengan segera kita akan melihat adanya perbedaan yang sangat mencolok. Kitab kenabian lazimnya berisi nubuat para nabi yang memaklumkan berkat maupun kecaman dan hukuman dari Allah (bdk. Am. 2:4-5; Hos. 2:1-22; Yes. 1:2-9), tetapi nubuat hampir-hampir tidak ditemukan dalam kitab Yunus, kecuali sepotong kalimat bahwa “empat puluh hari lagi, maka Niniwe akan ditunggangbalikkan” (Yun. 3:4). Kitab para nabi, apalagi kitab nabi-nabi kecil, biasanya hanya berbicara sedikit mengenai kehidupan pribadi nabi yang bersangkutan (bdk. Am. 7:10-17),[2] tetapi keseluruhan kitab Yunus pada dasarnya berbicara tentang diri Yunus.[3] Patut dicatat pula bahwa penulis kitab ini tidak pernah menyebut Yunus sebagai “nabi” (bdk. Yes. 7:13).
Seorang nabi bernama Yunus bin Amitai memang sungguh ada (2Raj. 14:25). Ia hidup dan berkarya di Israel pada masa pemerintahan Raja Yerobeam II (783-743 SM). Namun, apa yang tertulis dalam kitab Yunus sama sekali tidak menggambarkan jalan hidup tokoh sejarah tersebut. Kecuali nama yang sama, Yunus bin Amitai dalam kitab Yunus sepenuhnya berbeda dengan Yunus bin Amitai dalam kitab 2 Raja-raja. Hal ini terjadi kiranya karena penulis kitab Yunus sekadar “meminjam” nama Yunus bin Amitai untuk dijadikan tokoh dalam kisah pengajaran yang disusunnya.
Karena itu, kitab Yunus juga bukan kitab sejarah. Keberadaan ikan besar yang sanggup menampung Yunus selama tiga hari tiga malam (Yun. 1:17), pohon jarak yang tumbuh tinggi dalam sekejap (Yun. 4:6), dan ulat yang dalam sekejap pula membuat pohon tersebut layu (Yun. 4:7) menjadi tanda akan hal itu.[4] Ketiga makhluk “ajaib” tersebut hendaknya menyadarkan kita sekalian bahwa yang kita hadapi bukanlah peristiwa yang sungguh terjadi, bukan pula laporan pandangan mata. Pendekatan ini kiranya menyelesaikan banyak masalah dalam kitab Yunus, misalnya tentang raja yang salah disebut sebagai “raja kota Niniwe” (Yun. 3:6, akan lebih wajar kalau disebut “raja Asyur”), tentang pertobatan orang Niniwe yang tidak pernah ada dalam catatan sejarah, dan tentu saja tentang pengalaman Yunus yang tidak masuk akal, di mana ia bisa bertahan hidup meskipun berada di dalam perut ikan dalam jangka waktu yang cukup lama.
Kisah Yunus sejatinya adalah sebuah perumpamaan yang bermaksud mengajarkan sesuatu kepada para pembaca.[5] Menurut pendapat sejumlah ahli, kitab ini ditulis sekitar abad 5 SM, masa-masa ketika orang Israel sedang berusaha memulihkan diri pasca pembuangan Babel.[6] Dalam rangka pembenahan bangsa, semangat nasionalisme secara menggebu-gebu dikobarkan di kalangan masyarakat. Kebanggaan dan identitas diri sebagai orang Israel diteguhkan kembali. Berkembanglah di sana sikap eksklusif dan penolakan total terhadap pengaruh-pengaruh asing (bdk. Ezr. 9:1-3; Neh. 13:23-30). Gerakan ini melahirkan dampak negatif. Bangsa Israel menjadi bangsa yang tertutup. Menganggap diri sebagai satu-satunya umat pilihan Allah, mereka lalu menjadi angkuh. Bangsa-bangsa lain mereka anggap hina, rendah, dan dipandang tidak pantas beroleh keselamatan. Kesombongan ini menjadi ironi mengingat dalam banyak kesempatan martabat sebagai umat Allah tidak sanggup mereka pelihara.
Kitab Yunus lahir untuk meluruskan gagasan keliru tersebut. Oleh kitab Yunus, partikularisme dan nasionalisme sempit dilawan dengan gagasan tentang universalitas kasih Allah. Harus diakui bahwa tidak semua pihak menyetujui pendapat ini. Sampai sekarang, pesan ataupun ajaran utama kitab Yunus masih menjadi polemik di kalangan para ahli.[7] Tulisan ini mengikuti pendapat bahwa kisah Yunus terutama hendak mengajarkan tentang kasih Allah terhadap semua bangsa, tidak terbatas kepada bangsa Israel saja. Meskipun sejumlah pihak berkata bahwa di dalam kisah tidak ada pernyataan eksplisit kalau Yunus menentang keselamatan bagi bangsa-bangsa lain, kiranya tidak dapat disangkal bahwa gagasan tentang kasih Allah terhadap semua orang digemakan dengan lantang oleh kitab ini.
(Bersambung)
[1] Bdk. C. Groenen, Pengantar ke Dalam Perjanjian Lama (Yogyakarta: Kanisius, 1992), 305. Dalam kesusastraan, satire adalah gaya bahasa untuk menyatakan sindiran terhadap sesuatu atau seseorang.
[2] John Craghan, Esther, Judith, Tobit, Jonah, Ruth (Delaware: Michael Glazier, 1982), 165.
[3] “Kitab Yunus tidak memuat nubuat seorang nabi, melainkan tentang seorang nabi.” Lih. A. Th. Kramer, Kitab Yunus (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012), 2.
[4] Bdk. ular yang dapat berbicara dalam kisah Adam dan Hawa (Kej. 3:1-24) dan keledai yang juga dapat berbicara dalam kisah Bileam (Bil. 22:21-35).
[5] Bisa dibandingkan dengan perumpamaan-perumpamaan yang dikisahkan Yesus, misalnya perumpamaan tentang orang Samaria yang murah hati (Luk. 10:25-37).
[6] Irene Nowell, “Yunus,” dalam Tafsir Alkitab Perjanjian Lama, editor Dianne Bergant dan Robert J. Karris (Yogyakarta: Kanisius, 2002), 670.
[7] Kramer, Kitab Yunus, 7-8. Kramer berpendapat bahwa kitab Yunus mau berbicara tentang hubungan antara Tuhan dan nabi yang diutus-Nya. Namun, sebelumnya ia mengakui bahwa “tentang pokok pemberitaan kitab Yunus ada berbagai pandangan yang cukup berbeda satu dengan yang lain.” Dinyatakan pula bahwa universalitas kasih Allah adalah “pandangan paling lazim tentang inti pemberitaan kitab Yunus.”