Beberapa tahun lalu, ketika jalan pagi di pinggir kota Atambua, saya menjumpai banyak keluarga pengungsi Timor Leste di situ. Mereka tidak lagi tinggal di tenda, tetapi masing-masing sudah bertempat tinggal sendiri: ada yang semipermanen, tetapi banyak juga yang sudah dipugar menjadi rumah permanen. Pada pagi itu, mereka sedang siap-siap untuk ikut pemilu yang diadakan pada tanggal 9 April 2009.
Saya tersentak melihat proses integrasi yang begitu cepat. Apakah karena tuan rumah dan pendatang sama-sama berbahasa Tetun? Atau, apakah karena agamanya sama? Berbeda sekali dengan pengungsi-pengungsi Palestina yang setelah setengah abad lebih masih hidup dalam kamp-kamp besar di pelbagai negara di sekitar Israel. Sesungguhnya, di situ pun tidak ada soal menyangkut perbedaan bahasa atau agama. Timbul pertanyaan: apa yang membuat pendatang cepat atau lambat, gampang atau sulit, terintegrasi dalam lingkungannya yang baru?
(Bersambung)