Makna Puasa bagi Murid-murid Yesus

Jumat, 7 September 2018 – Hari Biasa Pekan XXII

817

Lukas 5:33-39

Orang-orang Farisi itu berkata pula kepada Yesus: “Murid-murid Yohanes sering berpuasa dan sembahyang, demikian juga murid-murid orang Farisi, tetapi murid-murid-Mu makan dan minum.” Jawab Yesus kepada mereka: “Dapatkah sahabat mempelai laki-laki disuruh berpuasa, sedang mempelai itu bersama mereka? Tetapi akan datang waktunya, apabila mempelai itu diambil dari mereka, pada waktu itulah mereka akan berpuasa.”

Ia mengatakan juga suatu perumpamaan kepada mereka: “Tidak seorang pun mengoyakkan secarik kain dari baju yang baru untuk menambalkannya pada baju yang tua. Jika demikian, yang baru itu juga akan koyak dan pada yang tua itu tidak akan cocok kain penambal yang dikoyakkan dari yang baru itu. Demikian juga tidak seorang pun mengisikan anggur yang baru ke dalam kantong kulit yang tua, karena jika demikian, anggur yang baru itu akan mengoyakkan kantong itu dan anggur itu akan terbuang dan kantong itu pun hancur. Tetapi anggur yang baru harus disimpan dalam kantong yang baru pula. Dan tidak seorang pun yang telah minum anggur tua ingin minum anggur yang baru, sebab ia akan berkata: Anggur yang tua itu baik.”

***

“Mengapa murid-murid Yohanes dan murid-murid orang Farisi berpuasa, tetapi murid-murid-Mu tidak?” Pertanyaan ini dijawab oleh Yesus dengan balik bertanya, “Dapatkah sahabat mempelai laki-laki disuruh berpuasa sedang mempelai itu ada bersama mereka? Tetapi akan datang harinya, apabila mempelai itu diambil dari mereka, pada waktu itulah mereka akan berpuasa.” Yesus merujuk pada diri-Nya sendiri sebagai mempelai laki-laki.

Mempelai kini berpesta dan bersukacita bersama-sama dengan para murid-Nya. Para murid akan berpuasa pada waktu mempelai diambil dari mereka. Kata “diambil” selalu menunjuk pada kematian-Nya. Sejak kematian Yesus, para murid akan mulai berpuasa. Puasa dengan demikian diartikan pertama-tama sebagai perkabungan karena meninggalnya Yesus dan sebagai penantian akan datangnya Kerajaan Allah secara definitif.

Karena itu, puasa para murid Yesus bukan pertama-tama suatu sikap mati raga atau askese, melainkan suatu sikap bergantung kepada Allah. Hal ini sejalan dengan puasa Yesus di padang gurun yang merupakan tindakan penyerahan diri kepada Allah Bapa pada saat Yesus akan memulai misi-Nya.

Melalui pembicaraan tentang puasa, Yesus tampaknya ingin menekankan kesadaran dan kemauan pribadi, bukan soal paksaan dari sebuah aturan. Praktik puasa mesti berangkat dari kehendak bebas pribadi, sehingga melahirkan pembaruan diri. Puasa dalam Gereja Katolik amat berhubungan dengan pertobatan dan pembaruan diri. Waktu puasa diberikan secara khusus pada masa Prapaskah dengan maksud untuk memberi kesempatan kepada setiap umat beriman agar mendekatkan atau menyerahkan diri secara total kepada Allah.