Yesus dan kekerasan
Sebagai orang Kristen, kita terutama ingin tahu tentang sikap Yesus terhadap kekerasan, lebih-lebih karena kita mengenal zaman Yesus dan jemaat perdana sebagai abad yang penuh kekerasan yang dilakukan oleh pelbagai pihak: pemerintah Romawi, dinasti Herodes, juga gerakan kaum Zelot. Ilustrasinya terdapat dalam Injil: kasus orang-orang Galilea yang dibunuh oleh Pilatus ketika mereka membawa kurban (Luk. 13:1), pembunuhan Yohanes Pembaptis oleh Herodes/Herodias (Mrk. 6:17-29), dan penyaliban Yesus sendiri.
Bukankah Yesus juga masuk ke dalam siklus kekerasan ketika mengatakan, “Aku datang bukan untuk membawa damai, melainkan pedang” (Mat. 10:34)? Apakah Yesus tidak termasuk gerakan Zelot?[1] Setidak-tidaknya seorang murid di Taman Getsemani rupanya mengerti secara demikian, sehingga ia menghunus pedang dan memotong telinga hamba imam besar (Mrk. 14:47). Akan tetapi, dari teguran keras Yesus saat itu, jelas bahwa yang dimaksud adalah pedang dan permusuhan yang akan dialami oleh para pengikut-Nya, dan bukan pedang yang boleh mereka angkat. Pengikut yang menghunus pedang dan menyerang disuruh-Nya untuk memasukkan pedang itu ke dalam sarungnya. Di saat yang menentukan itu, Yesus menunjukkan sikap nirkekerasan (Mat. 26:25; Luk. 22:38,49).
Sikap itu tampak pula dalam khotbah di bukit. Yesus berusaha mendobrak siklus kekerasan dengan ajaran-Nya, “Janganlah kamu melawan orang yang berbuat jahat kepadamu, melainkan siapa pun yang menampar pipi kananmu berilah juga kepadanya pipi kirimu. Dan kepada orang yang hendak mengadukan engkau karena mengingini bajumu, serahkanlah juga jubahmu” (Mat. 5:39-40). Ia mengajar para murid untuk mengasihi musuh-musuh mereka, sama seperti dilakukan Bapa di surga (Mat. 5:44-45). Ia mencegah para pemuka Yahudi merajam seorang perempuan yang kedapatan berbuat zina (Yoh. 8:3-11). Ia memasuki Yerusalem bukan sebagai raja Mesias yang dinantikan mengendarai kuda atau kereta, melainkan naik keledai sebagai raja damai yang didambakan sejak nubuat Nabi Zakharia (Za. 9:9-10). Yesus dikenang oleh jemaat perdana sebagai orang yang menolak kekerasan. Ia mendorong mereka untuk membawa damai, serta menderita kekerasan tanpa membalas dendam.
Namun, dalam Perjanjian Baru faktanya tidak sesederhana itu. Tidak semua teks cocok dengan paradigma perdamaian tersebut. Yesus, Yohanes Pembaptis, dan jemaat perdana jelas bukan penganut pasifisme, sebab – bahkan dalam gambaran Injil Lukas yang paling pasifik – mereka tetap menerima dengan baik kehadiran tentara. Mereka menasihati, menolong, memuji, dan menerima prajurit tanpa meminta orang-orang itu meninggalkan dinas militer (Luk. 3:14; 7:1-10; Kis. 10-11). Sebagian perumpamaan Yesus mengandung unsur kekerasan sebagai simbol kuasa Allah: tamu-tamu yang menolak undangan untuk perjamuan nikah – mereka menyiksa dan membunuh hamba-hamba yang menyampaikan undangan – dibalas oleh sang raja dengan menyuruh pasukannya membinasakan para pembunuh itu (Mat. 22:7; berbeda dengan Luk. 14:21); pembinasaan ini oleh jemaat perdana dikaitkan dengan penghancuran Yerusalem pada tahun 70.
(Bersambung)
[1] Tentang beberapa kemiripan dan lebih banyak perbedaan antara Yesus dan kaum Zelot, lih. Ignatius Suharyo, “Yesus dan Anti Kekerasan,” Gema 50 (1995):23-25.