Kekerasan dalam Alkitab (4)

1808

Masalahnya, tafsir dari sudut pembebasan umumnya hanya melihat Allah Israel dari sisi umat yang tertindas. Tafsir ini berdiam diri menyangkut perintah YHWH untuk membunuh semua orang dalam kelompok musuh, padahal perintah itu jelas-jelas ada. Jauh melampaui kekerasan terbatas yang diperlukan untuk memulihkan keadilan dan kebebasan, ada sesuatu yang aneh dan mengerikan: “Sifat YHWH yang tak terjinakkan ada kalanya memperkenankan terjadinya kekerasan yang tidak tercakup dalam makna keadilan mana pun.”[1] Di sini jelas diperlukan juga suatu pembacaan in memoriam korban-korban dari pihak seberang. Contohnya kita temukan dalam setiap perjamuan Paskah: keluarga-keluarga Yahudi mengingat orang-orang Mesir yang telah menjadi korban dengan meneteskan setitik air anggur pada pembacaan setiap tulah sebagai semacam tanda ikut menderita.

Lohfink (110) dan Hens-Piazza (202) melihat keuntungan bahwa Alkitab secara terbuka menceritakan kasus-kasus kekerasan. Alkitab tidak menutupinya yang artinya justru membiarkannya terus terjadi. Keterbukaan Alkitab perlu ditanggapi dengan membaca adegan-adegan kekerasan itu dengan penuh perhatian – alih-alih melewati dan mendiamkannya – sebab dengan perhatian terhadap teks-teks yang terbuka itu, sidang pembaca mendapat kesempatan untuk mengembangkan kepekaan terhadap kekerasan dalam segala bentuknya.

Menarik juga sikap kritis Martin Buber terhadap perang suci tersebut. Dalam membahas perintah Samuel kepada Saul agar ia membunuh bukan saja para prajurit Amalek tetapi juga semua orang, termasuk perempuan dan bayi (1Sam. 15:3), Buber menegaskan, “Aku yakin Samuel telah salah memahami Allah” (1967:31-2). Bagi Buber, kritik atas Alkitab ini mempunyai dasar iman: “Kalau seorang Yahudi yang setia harus memilih antara Allah dan Kitab Suci, ia tentu memilih Allah … Dalam tradisi lisan dan tertulis yang darinya Perjanjian Lama berasal, kesalahpahaman berulang-ulang melekat pada pemahaman … Tidak ada yang dapat membuat aku percaya kepada Allah yang menghukum Saul karena ia tidak membunuh musuhnya” (Buber, 1967:32-3). Dari kesaksian keseluruhan Alkitab dan tradisi Yahudi, Buber memperoleh suatu pemahaman tentang Allah dan kepekaan iman yang memungkinkan dia untuk secara kritis merefleksikan teks-teks Alkitab yang terlepas, dan menyimpulkan bahwa ada ayat yang tidak menyatakan kehendak Allah.

Dalam perjuangan untuk keadilan dan damai serta pembelaan hidup, banyak pemimpin dan aktivis Kristen rajin memilih beberapa pandangan Alkitab sebagai penyataan kehendak Allah, tetapi secara diam-diam melewati yang lain. Tuntutan keras Allah melalui Musa, Yosua, dan Samuel untuk perang suci dan pemusnahan sakral diam-diam mereka tolak, tetapi tanpa merefleksikan dasar penolakan itu. “Memilih Allah di atas Alkitab tetap merupakan tantangan bagi umat Yahudi dan Kristen dewasa ini” (Lefebure, 2003:96). Orang yang percaya kepada Allah tidak akan mengklaim ayat Alkitab sebagai penuntun yang sudah pasti untuk tindakan etis, tetapi bersedia untuk mendiskusikan kembali setiap teks dalam konteks keseluruhan Alkitab dan tradisi iman (Collins, 2003:18-21).

(Bersambung)

[1] Juga Brueggemann, tetapi sepuluh tahun kemudian (1997:250).