Pemusnahan Mesir, prajurit ilahi, dan Perang YHWH
Kisah keluaran sangat menentukan pemahaman umat Israel akan Allah. Ketika melihat penderitaan budak-budak Ibrani, Allah yang menyayangi mereka lalu memanggil Musa. Ia menyuruh Musa menghadap Firaun serta membawa umat Israel keluar dari perbudakan menuju tanah terjanji. Pada masa sekarang, sebagian penafsir memandang kisah ini sebagai kesaksian agung tentang pembebasan, kesaksian tentang Allah yang adil dan berbelas kasih terhadap orang-orang tertindas.[1] Kisah tentang Allah yang membebaskan Israel dari perbudakan dan penindasan memberi banyak inspirasi kepada gerakan-gerakan pembebasan yang pada masa sekarang dalam memperjuangkan suatu masyarakat yang bebas dari ketidakadilan. Dalam perjuangan itu sering kali kekerasan digunakan, dibutuhkan, dan dibenarkan. Dikatakan bahwa penindasan sistematik hanya dapat dipatahkan melalui kekerasan.
“Namun demikian, kaitan pewahyuan ilahi dengan kekerasan dalam kisah keluaran sangat kompleks dan ambigu.”[2] Tidak semua bentuk kekerasan yang dilakukan Allah dalam kitab Keluaran merupakan jawaban atas penindasan, misalnya saat YHWH berusaha membunuh Musa sendiri (Kel. 4:24-26). Dalam tulah kesepuluh, kuasa Tuhan menyatakan diri dalam kematian anak-anak yang tak bersalah (Kel. 12:29-30). Kekerasan ini berbeda dengan peristiwa penyeberangan Laut Teberau ketika kuasa Allah menjadi nyata dalam pembinasaan pasukan Mesir yang mengancam Israel (Kel. 14).
Penyataan kuasa YHWH sebagai prajurit ilahi disertai model perang suci (“Perang YHWH”) yang sering muncul dalam kisah bangsa Israel selanjutnya, kisah sejarah Deuteronomistik.[3] Ketika Israel bergerak untuk berperang melawan musuh mereka, YHWH ikut berperang (Ul. 33:2-3; Hak. 5:19-20; Mzm. 24; dll.). Ketetapan perang suci itu sangat mengerikan. Melalui Musa, YHWH melarang Israel membuat perdamaian dengan penduduk Kanaan, dan berjanji akan menolong Israel agar dapat membinasakan musuh-musuh mereka (Ul. 7:1-24). Ingatan kepada Amalek harus mereka hapuskan dari kolong langit (Ul. 25:17-19). Seluruh penduduk Yerikho, kecuali keluarga Rahab, dibinasakan/diharamkan atas perintah Tuhan (Yos. 6:17-21).
Banyak unsur kekerasan dalam kisah keluaran dan kisah penaklukan tanah Kanaan sesungguhnya tidak cocok dengan visi kaum pembebas masa kini. Pada masa sekarang, sebagian perintah Allah kepada Israel tersebut akan dinilai sebagai kejahatan perang (mis. Bil. 11:1-3; 1Sam. 15:3).
(Bersambung)
[1] Misalnya George V. Pixley, 1990, Kerajaan Allah: Artinya bagi Kehidupan Kultus, Politis, Ideologis, dan Kemasyarakatan, Jakarta: BPK Gunung Mulia.
[2] Lefebure, 2003:87. Bab ketiga karya Lefebure ini banyak digunakan dalam karangan ini.
[3] Gerhard von Rad, 1991, Holy War in Ancient Israel, Grand Rapids: Eerdmans; Susan Niditch, 1993, War in the Bible: A Study in the Ethics of Violence, New York: Oxford UP; John J. Collins, “The Zeal of Phinehas: The Bible and the Legitimation of Violence,” JBL 122 (2003) 3-21.