Tuhanlah Sumber Hidupku

Minggu, 19 Agustus 2018 – Hari Minggu Biasa XX

396

 Yohanes 6:51-58

“Akulah roti hidup yang telah turun dari surga. Jikalau seorang makan dari roti ini, ia akan hidup selama-lamanya, dan roti yang Kuberikan itu ialah daging-Ku, yang akan Kuberikan untuk hidup dunia.”

Orang-orang Yahudi bertengkar antara sesama mereka dan berkata: “Bagaimana Ia ini dapat memberikan daging-Nya kepada kita untuk dimakan.” Maka kata Yesus kepada mereka: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya jikalau kamu tidak makan daging Anak Manusia dan minum darah-Nya, kamu tidak mempunyai hidup di dalam dirimu. Barangsiapa makan daging-Ku dan minum darah-Ku, ia mempunyai hidup yang kekal dan Aku akan membangkitkan dia pada akhir zaman. Sebab daging-Ku adalah benar-benar makanan dan darah-Ku adalah benar-benar minuman. Barangsiapa makan daging-Ku dan minum darah-Ku, ia tinggal di dalam Aku dan Aku di dalam dia. Sama seperti Bapa yang hidup mengutus Aku dan Aku hidup oleh Bapa, demikian juga barangsiapa yang memakan Aku, akan hidup oleh Aku. Inilah roti yang telah turun dari surga, bukan roti seperti yang dimakan nenek moyangmu dan mereka telah mati. Barangsiapa makan roti ini, ia akan hidup selama-lamanya.”

***

Sebulan lalu saya berjumpa dengan sebuah keluarga yang juga merupakan umat paroki tempat saya bertugas. Keluarga ini memiliki tiga orang anak, dua laki-laki dan satu perempuan. Setiap Sabtu dan Minggu, mereka selalu menyediakan waktu untuk bisa makan bersama. Tidak lupa, setiap anak mendapat giliran untuk memimpin doa sebelum dan sesudah makan. Saat makan, telepon genggam adalah hal yang paling tabu untuk dibuka. Kebetulan saya saat itu diajak oleh keluarga ini untuk makan bersama.

Dari situ saya belajar bahwa makan maupun makanan bukanlah sekadar kegiatan menyantap sesuatu. Makan adalah sarana untuk membentuk komunitas, dan di dalamnya orang belajar untuk mengenal siapa yang ada di sekeliling mereka dengan segala keunikannya. Dari kegiatan makan bersama, ayah dan ibu bisa mengetahui serta lebih dekat mengenal anak-anak mereka. Mereka bisa pula belajar berbagi makanan antar anggota keluarga, juga menunjukkan kepedulian satu sama lain, misalnya ketika membantu mengambilkan makanan satu sama lain.

Sama halnya di dalam segala kegiatan lingkungan ataupun wilayah. Setelah perayaan Ekaristi, umat di lingkungan biasanya bersama-sama menikmati santapan jasmani. Hidangan itu sebelumnya disiapkan oleh mereka sendiri: ada yang memasak nasi, memasak tempe, bihun goreng, ataupun kerupuk. Sebenarnya makan bukanlah yang utama, tetapi dari situ mereka belajar untuk berbagi di dalam wujud memasak ataupun menyiapkan sesuatu.

Hari ini Yesus mengatakan bahwa Ia adalah roti hidup. Siapa yang memakan-Nya akan hidup untuk selamanya. Saat merenungkan Injil hari ini, saya teringat akan pengalaman-pengalaman makan bersama, seperti yang sudah saya ceritakan di atas.

Perayaan Ekaristi adalah kegiatan makan secara spiritual. Di sana kita menerima Tuhan sendiri di dalam wujud hosti. Kita menyantap hosti itu, dan dengan itu sebenarnya kita diingatkan bahwa Tuhan adalah sumber hidup kita. Perayaan Ekaristi dengan demikian merupakan sarana untuk mengingat betapa Tuhan sungguh mencintai kita.

Hal itu seperti tindakan seorang ibu yang menyiapkan makanan ataupun menuangkan makanan kepada anak-anaknya. Sang ibu mewujudkan cintanya, dan anak-anak memahami cinta ibunya. Di dalam Ekaristi pun kita memahami kasih Tuhan yang besar kepada kita. Dalam Latihan Rohani Santo Ignasius Loyola, Ekaristi disebut sebagai retret mini dalam hidup harian kita, di mana ada empat bagian yang bisa kita olah.

Bagian pertama meliputi Tanda Salib, Tuhan Kasihanilah, dan Doa Pembukaan. Di sini kita diajak untuk melihat Tuhan yang Maharahim, yang berkenan mengampuni dosa kita.

Bagian kedua adalah Mendengarkan Sabda dan Homili. Setelah kita sungguh merasakan diri dicintai meskipun berdosa, kita kemudian diajak untuk menjadi murid-Nya.

Bagian ketiga mencakup Persembahan, Doa Syukur Agung, dan Komuni. Kita diajak untuk lebih radikal menjadi murid Kristus dengan mengenang sengsara, wafat, dan kebangkitan-Nya.

Dalam bagian keempat, kita diajak untuk bertransformasi dengan mewartakan kasih Tuhan di dalam hidup harian kita.

Marilah kita merenungkan bersama: apakah Yesus sungguh menjadi sumber hidup kita? Apakah kita memahami maksud kasih Tuhan di dalam Ekaristi dan juga di dalam hidup harian kita?