Lembaga Biblika Indonesia (LBI) sudah dirintis sejak tahun 1965 sebagai usaha Ordo Saudara Dina Fransiskan (OFM) untuk menerjemahkan dan menerbitkan Kitab Suci dan buku-buku mengenai Kitab Suci. Waktu itu, lembaga ini bernama Lembaga Biblika Saudara-saudara Dina.
Dalam sidang Majelis Agung Waligereja Indonesia (MAWI) tahun 1970, para uskup Indonesia meresmikan dan mengangkat lembaga tersebut menjadi lembaga MAWI yang menangani hal-hal yang berkaitan dengan Kitab Suci (lihat surat sekretaris presidium MAWI tanggal 19 Februari 1971). Sejak itu, lembaga ini bernama Lembaga Biblika Indonesia.
Didirikannya LBI dimaksudkan untuk menanggapi imbauan Konsili Vatikan II: “Bagi kaum beriman kristiani, jalan menuju Kitab Suci harus terbuka lebar-lebar” (Dei Verbum 22). Dengan demikian, mereka dapat memenuhi anjuran untuk “… sering kali membaca Kitab Suci dan memperoleh pengertian yang mulia akan Yesus Kristus … Sebab, tidak mengenal Kitab Suci berarti tidak mengenal Kristus” (Dei Verbum 25).
Untuk menunjang niat tersebut diadakan kerja sama dengan berbagai pihak dalam hal menerjemahkan dan menyebarkan Kitab Suci. Juga diadakan bahan-bahan yang mendukung karya kerasulan Kitab Suci di lapangan. Hal ini sejalan dengan prioritas yang disepakati dalam Pekan Konsultasi Nasional Kerasulan Kitab Suci yang pertama pada tahun 1976.
Agar umat Katolik semakin menaruh minat dan mencintai Kitab Suci, sejak tahun 1977 dirayakan Hari Minggu Kitab Suci Nasional yang jatuh pada hari Minggu pertama Bulan September. Sejak itu, kerasulan Kitab Suci berkembang dengan pesat dan di hampir semua keuskupan diangkat Penghubung Kerasulan Kitab Suci. Dalam Pekan Konsultasi Nasional Kerasulan Kitab Suci yang kedua (1980) sebutan Penghubung diubah menjadi Delegatus Kitab Suci. Pada kesempatan itu dirumuskan pula tugas dan wewenang Delegatus Kitab Suci serta hubungannya dengan LBI.
Semakin lama semakin dirasakan kebutuhan agar kerja sama antara LBI dengan para Delegatus Kitab Suci ini lebih diintensifkan. Karena itu, dibentuklah Forum Kerja Sama Kerasulan Kitab Suci pada tahun 1987. Mulai tahun 1996, para Delegatus Kitab Suci ex officio menjadi anggota LBI, dan Delegatus Kitab Suci yang dipilih sebagai penghubung regio menjadi anggota Dewan Pimpinan.
Sejak tahun 2002, LBI mengaktifkan kembali Yayasan Lembaga Biblika Indonesia (YLBI) sebagai sebuah unit usaha untuk membantu terwujudnya misi LBI.
Pada 14 Desember 2009, rapat Pimpinan Harian bersama Uskup Delegatus, Mgr. Ignatius Suharyo, membicarakan aneka masalah yang berkaitan dengan kondisi LBI dan YLBI, misalnya struktur organisasi serta keberadaan LBI dan YLBI yang tumpang tindih, keberadaan YLBI sebagai unit usaha LBI, perangkapan jabatan dan fungsi, serta mekanisme kerja.
Pada 1 Mei 2010 diadakan pertemuan dengar pendapat berkaitan dengan kondisi LBI dan YLBI, yang dihadiri oleh Direksi KWI, Sekjen KWI, mantan Pengurus LBI, serta Konsultan Hukum dan Pajak.
Setelah dilakukan serangkaian rapat internal, khususnya pada rapat tanggal 24 Februari 2011 yang dihadiri Uskup Delegatus, diputuskan penggabungan LBI dan YLBI, dengan nama Lembaga Biblika Indonesia.