Belajar setia dari Nabi Hosea
Gereja mengajarkan bahwa perkawinan Katolik itu monogami dan tak terceraikan. Banyak orang menganggap ajaran Katolik ini bukan hanya sulit, tetapi juga mustahil untuk dilakukan. Sebagian orang memang telah gagal melaksanakannya: mereka gagal menepati janji untuk setia sampai maut memisahkan. Mengapa hal ini bisa terjadi? Mengapa kesetiaan menjadi suatu hal yang sulit untuk dilaksanakan? Salah satu jawaban yang mendasar atas pertanyaan ini adalah keengganan untuk melihat kehadiran Allah dalam relasi suami-istri. Apakah Allah yang dulu mempersatukan mereka sekarang tidak dialami atau dilihat lagi? Apakah Allah yang dahulu mempersatukan suami dan istri itu kini telah meninggalkan mereka?
Perkawinan sebagai sakramen
Sebuah perkawinan tidak dapat dipahami semata-mata sebagai hubungan antara seorang laki-laki dan seorang perempuan. Gereja Katolik memandang perkawinan sebagai sakramen. Ini berarti bahwa Tuhan ada di antara suami dan istri. Ia berperan penting dalam hubungan itu karena Dialah yang memanggil mereka dan mempersatukan mereka dalam ikatan perkawinan.
Hosea dipanggil untuk mengalami dan merasakan apa yang dialami oleh Tuhan. Ia setia mengasihi Israel yang telah berlaku tidak setia kepada-Nya. Kesetiaan Tuhan tampak jelas ketika berhadapan dengan Israel yang tidak setia. Dengan memberi perintah kepada Hosea untuk mengawini seorang pelacur, Tuhan meminta Hosea untuk berlaku setia kepada Gomer, sebagaimana Tuhan setia kepada Israel.
Dalam kehidupan perkawinan, bisa terjadi Tuhan meminta suami atau istri untuk mengasihi pasangan hidupnya seperti Ia mengasihi umat-Nya. Persoalan-persoalan yang muncul dalam kehidupan perkawinan tidak dapat hanya dilihat sebagai hubungan antara suami dan istrinya. Sebaliknya, suami dan istri justru harus kembali kepada Tuhan, melibatkan Dia dalam menghadapi persoalan itu. Dengan cara demikian, mereka berusaha mencari tahu apa yang sebenarnya dikehendaki oleh Tuhan bagi mereka.
(Bersambung)