Dirundung rasa takut akibat penganiayaan, pembaca perdana Injil Markus dituntut untuk berani menghadapi penderitaan itu, bahkan untuk mati demi kebenaran (“tetapi barangsiapa kehilangan nyawanya karena Aku dan karena Injil, ia akan menyelamatkannya,” Mrk. 8:35).[1] Bagaimana memahami teks yang dihasilkan dari umat beriman yang terancam agar tetap bermakna bagi yang tidak mengalami ancaman yang serupa? Bagi pribadi yang tidak pernah merasa terancam hidupnya karena iman, seperti saya, pesan tragis Injil Markus tetap relevan. Ia menggugah nurani untuk melepaskan segalanya demi Kristus.
Dalam bukunya yang bertajuk The Imitation of Christ, sebagaimana dikutip oleh David E. Garland, Thomas à Kempis berujar, “Jesus today has many who love his heavenly kingdom, but few who carry his cross; many who yearn for comfort, few who long for distress. Plenty of people he finds to share his banquet, few to share his fast. Everyone desires to take part in his rejoicing, but few are willing to suffer anything for his sake.”[2]
Ketika para pengikut-Nya mencari jaminan agar terhindar dari masalah, Tuhan justru menuntut sebaliknya. Kita dipanggil untuk menderita. Penderitaan yang dimaksud bisa berupa penganiayaan karena mereka harus berbeda dari dunia. Kini setiap orang digoda untuk menjadi sepola dengan dunia demi kenyamanan hidup atau rasa aman. Bukankah demi itu juga kita telah menjinakkan pesan Injil menjadi tidak ubahnya tatanan atau kesantunan bermasyarakat? Kita pun digiring untuk menahan suara kemuridan kita karena itu membuat kita lebih aman.
Menurut penggambaran Markus, hidup Yesus memang tragis. Orang-orang yang bersama-Nya meninggalkan-Nya sendirian menghadapi derita (Mrk. 14:50). Itu pun keadaan yang sudah terbaca oleh Yesus. Ia akan menghadapi semuanya seorang diri sebagai akibat dari keengganan-Nya untuk menyerah pada tuntutan umat dan pengikut-Nya. Ia memilih untuk taat kepada Bapa dan tidak peduli dengan konsekuensi tragis yang akan dialami-Nya. Sikap demikian bertolak belakang dengan tuntutan Petrus agar Gurunya itu bertindak selayaknya Mesias yang dipahami banyak orang. Petrus mewakili setiap pribadi yang melebur dengan semangat umat dan menjawab tuntutan zaman, tidak ubahnya diri saya yang terdorong untuk menjadi berhasil dan hidup enak seperti orang lain.
Keyakinan Petrus bersama banyak yang lain membuatnya berpikir kalau Yesus juga meyakini hal yang sama. Namun, ia salah besar. Di sinilah tampak penderitaan yang Yesus tanggung, dan itulah salib yang juga harus dipikul oleh semua pengikut-Nya. Dalam menjalankan misinya, Paulus pun mengalami banyak penderitaan. Namun, ia menerima kekuatan dari Allah untuk bertahan tanpa berpikir untuk bebas. Bagi sang rasul, kemuliaan Kristuslah yang terutama. Kita pun bisa belajar dari kata-kata Paulus, “Dalam segala hal kami ditindas, namun tidak terjepit; kami habis akal, namun tidak putus asa; kami dianiaya, namun tidak ditinggalkan sendirian, kami dihempaskan, namun tidak binasa. Kami senantiasa membawa kematian Yesus di dalam tubuh kami, supaya kehidupan Yesus juga menjadi nyata di dalam tubuh kami” (2Kor. 4:8-10).
(Bersambung)
[1] Francois P. Viljoen, “Mark, the Gospel of the Suffering Son of Man,” In die Skriflig 36, no. 3 (2002): 471.
[2] David E. Garland, Mark, The NIV Application Commentary (Grand Rapids: Zondervan, 1996), 338.