Menariknya, ketika bereaksi terhadap kata-kata Petrus, Yesus berpaling dan memandang murid-murid-Nya. Hal ini memperlihatkan bahwa Petrus rupanya tidak sendiri. Ia hanyalah salah seorang dari banyak murid yang memiliki pandangan serupa. Kemarahan Yesus tidak hanya diarahkan kepada Petrus, tetapi juga kepada semua murid yang juga salah memahami arti kemesiasan-Nya. Semua murid seharusnya “pergi ke belakang” Yesus, mengikuti-Nya dalam sengsara dan iman.
Kemarahan Yesus bukanlah ekspresi ketakutan dan perasaan insecure yang dialami-Nya. Ia tahu betul apa yang ada dalam pikiran murid-murid-Nya. Ia tahu bahwa suatu saat Ia akan ditinggalkan oleh orang-orang terdekat-Nya, murid-murid yang selama ini bersama-Nya. Karena itu Yesus berkata, “Karena siapa yang mau menyelamatkan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya” (Mrk. 8:35). Mrk. 14:50 merekam apa yang terjadi pada waktu Yesus ditangkap, “Lalu semua murid itu meninggalkan Dia dan melarikan diri.” Para pengikut-Nya ternyata memilih untuk menyelamatkan nyawa mereka.
Dalam Injil Markus, kita disuguhi gambaran Kristus yang tidak dipahami oleh orang-orang sebagai Anak Allah, melainkan sebagai pejuang politik. Murid-murid Yesus digambarkan sebagai pengikut yang tidak mengerti, yang buta mata hati untuk mengenali Tuhan mereka. Hal ini menjadi sangat ironis apalagi jika kita mengingat bahwa mereka itu orang-orang yang hidup bersama dengan Yesus, mendengarkan langsung tutur ajar-Nya. Namun, kenyataannya Injil bukanlah gambaran mesra dan syahdu tentang hubungan sang Guru dengan murid-murid-Nya, melainkan ungkapan jujur dan apa adanya tentang apa yang terjadi. Itulah bagian dari derita Tuhan. Bagi penginjil Markus, seperti yang diamati C.M. Tuckett, “Jesus’ divine sonship is seen most clearly and starkly when he dies (bdk. Mrk. 15:39).”[1]
Benar sekali, mereka yang selalu mengikuti langkah Yesus ternyata adalah orang-orang yang buta. Jika kita lihat lebih jauh penuturan Markus, kita dapat memahami mengapa ia menempatkan narasi dan ajaran tentang sengsara Kristus di antara dua kisah penyembuhan orang buta: penyembuhan di Betsaida (Mrk. 8:22-6) dan penyembuhan Bartimeus, si pengemis di Yerikho (Mrk. 10:46-52).[2] Hal ini menarik jika ditilik dari kacamata narasi Markus. Gaya bercerita yang menggunakan teknik inclusio ini sengaja menunjukkan siapakah yang sebenarnya buta dan siapakah sebenarnya yang menderita. Kebutaan fisik melambangkan kebutaan mata hati yang menjadi perhatian utama Yesus di dunia. Ia datang untuk membuka mata hati dunia akan keselamatan.
(Bersambung)
[1] Christopher M. Tuckett, “Mark”, dalam The Oxford Bible Commentary (ed. J. Barton & J. Muddiman; Oxford University Press, 2001), 922.
[2] Lih. Stephen H. Smith, “A Divine Tragedy: Some Observations on the Dramatic Structure of Mark’s Gospel” dalam The Composition of Mark’s Gospel (ed. David E. Orton; Leiden; Boston; Köln: Brill, 1999), 237; lih. juga Tuckett, “Mark,” 902.