Perkembangan tafsiran harfiah
Pandangan tersebut sekarang sudah berubah sama sekali. Raga tidak lagi dianggap sebagai hal yang buruk, sebab bersama dengan jiwa, keduanya membentuk sesosok pribadi yang disebut manusia. Tempat yang semestinya juga diberikan kepada seksualitas, yang tidak lagi dianggap sebagai sesuatu yang kotor dan hina, sehingga tabu untuk dipikirkan, dibicarakan, dan diekspresikan. Dalam Gereja Katolik, hal ini mengubah banyak hal, misalnya pandangan mengenai panggilan hidup. Sekarang ini hidup berkeluarga martabatnya dipandang sama dengan hidup selibat. Menjadi awam sama berharganya dengan menjadi iman dan biarawan-biarawati.
Perubahan tersebut membuka jalan bagi tafsiran harfiah kitab Kidung Agung. Dewasa ini makin banyak pihak yang menerima kitab ini sebagai kumpulan lagu cinta yang bersifat profan. Artinya, diterima bahwa lagu-lagu dalam Kidung Agung memang sifatnya duniawi. Ini bukan lagu-lagu rohani, melainkan sungguh ekspresi cinta sepasang kekasih. Tidak ada yang salah dengan hal itu, termasuk bahwa gairah cinta sepasang anak manusia tersebut ada dalam Kitab Suci. Bukankah selain mengasihi Tuhan, mengasihi sesama manusia adalah juga hukum yang tertinggi (bdk. Mat. 22:39)? Sesungguhnya, sangat menyejukkan bahwa dalam Kidung Agung kita berjumpa dengan orang-orang yang memiliki kasih yang tulus dan bergelora, mengingat dalam banyak kitab lain, manusia sering digambarkan sebagai makhluk yang tidak setia, cenderung berbuat jahat, dan suka berkhianat.
(Bersambung)