Kidung Agung sebagai suatu alegori
Karena itu, tidak mengherankan bahwa tafsiran alegoris merupakan tafsiran yang paling populer untuk menjelaskan isi kitab Kidung Agung, terutama di masa lalu. Tafsiran ini disebut juga tafsiran spiritual.[1] Pada prinsipnya, tafsiran alegoris melihat Kidung Agung sebagai suatu kiasan, yang terutama menggambarkan hubungan antara Allah dan manusia. Pembaca jangan risi dengan kata-kata vulgar di dalam kitab ini, sebab di balik itu sang pujangga hendak berbicara tentang jalinan kasih antara Allah dan manusia yang begitu intim, hangat, dan mendalam.
Contohnya saja ayat 5 dalam perikop yang kita bicarakan sekarang (Kid. 4:1-7), yang berbunyi: “Seperti dua anak rusa buah dadamu, seperti anak kembar kijang yang tengah makan rumput di tengah-tengah bunga bakung.” Oleh kalangan Yahudi yang menafsirkan ayat ini secara alegoris, “buah dada” di sini dapat dimengerti sebagai lambang Musa dan Harun (keduanya merupakan sumber “susu” – yakni Taurat – bagi orang Israel), atau dua loh batu (yang memuat sepuluh firman Allah), atau raja dan imam agung (raja memelihara kesejahteraan jasmani umat, imam memelihara kesejahteraan rohani mereka). Kalangan kristiani yang menerapkan penafsiran yang sama akan melihat “buah dada” sebagai lambang Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru (firman Allah sebagai pedoman hidup Gereja) atau dua hukum yang paling utama (mengasihi Allah dan mengasihi sesama).[2]
Tafsiran alegoris sangat populer terutama pada masa Bapa-bapa Gereja, juga kalangan biarawan-biarawati dan para pertapa.[3] Gairah, afeksi, ungkapan-ungkapan erotis dalam Kidung Agung “diangkat” ke tingkat rohani agar dengan itu hubungan mereka dengan Allah semakin mendalam, sebab dirasakan secara intim dan personal. Namun, pendekatan ini bukannya tanpa kelemahan. Seperti tampak di atas, ayat yang sama akan ditafsirkan secara beragam oleh kelompok yang berbeda. Banyak juga yang merasa geli membayangkan buah dada sebagai lambang untuk Musa dan Harun, atau untuk Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Selain itu, tafsiran alegoris dinilai sebagai upaya untuk melucuti seksualitas dan sensualitas Kidung Agung, dengan gagasan bahwa daging dan segala sifatnya adalah hal yang buruk dan jahat. Yang baik adalah hal-hal yang sifatnya rohani saja.
(Bersambung)
[1] Van der Weiden, Seni Hidup: Sastra Kebijaksanaan Perjanjian Lama, 229.
[2] Ibid., 238-239.
[3] Ibid., 229-230.