Rambutmu Bagaikan Kawanan Kambing (1)

“Rambutmu bagaikan kawanan kambing yang bergelombang turun dari pegunungan Gilead” (Kid. 4:1c)

219

Pesta pernikahan – yang paling sederhana sekalipun – selalu berlangsung dengan meriah. Tidak peduli di gedung yang mahal atau di bawah tenda di halaman rumah, kemeriahan dan keceriaan pasti hadir di sana sebagai perpaduan dari berkumpulnya banyak orang, musik dan lagu yang mengalun merdu, serta makanan dan minuman yang berlimpah. Magnet yang menyatukan itu semua tentunya sepasang anak manusia yang sedang dimabuk asmara, yakni mempelai berdua.

Merekalah bintang acara tersebut. Perhatian segenap undangan tertuju kepada keduanya, yang untuk momen istimewa itu sudah didandani bagaikan raja dan ratu. Mempelai pria tampak gagah berwibawa, sementara mempelai wanita tampil begitu anggun mempesona. Keduanya sangat berbahagia karena cinta mereka pada akhirnya berlabuh di pelaminan.   Namanya manusia, di balik senyuman ramah para hadirin, bisa jadi mereka berbisik-bisik menggunjingkan wajah pengantin yang sebenarnya pas-pasan. Namun, komentar-komentar semacam itu bagaimanapun sama sekali tidak penting dan tidak relevan. Bagi mempelai wanita, kekasihnya adalah pria paling tampan sedunia; begitu pula sebaliknya, bagi mempelai pria, kekasihnya adalah wanita paling cantik sejagat raya. Pepatah yang mengatakan “cinta itu buta” rupanya benar adanya.

Hal demikian dapat kita temukan juga dalam kitab Kidung Agung (Kid. 4:1-7). Pasangan yang berbahagia akhirnya bersatu janji untuk hidup bersama dalam suka dan duka. Dalam kesempatan itu, mempelai laki-laki memuji kecantikan mempelai perempuan yang tiada duanya. “Rambutmu bagaikan kawanan kambing yang bergelombang turun dari pegunungan Gilead,” begitu ia berkata (Kid. 4:1c). Alih-alih terharu, analogi ini bisa jadi malah membuat pembaca Kitab Suci tertawa. Bisa-bisanya rambut perempuan diibaratkan kawanan kambing! Lebih mengherankan lagi, bagaimana mungkin gairah asmara seperti itu bisa muncul dalam Kitab Suci kita? Apa itu pantas?

(Bersambung)