Di sini kita akan mendalami istilah ragi dalam Kitab Suci. Istilah ini akan dijelaskan dengan pertama-tama menampilkan pemakaian dan makna simbolisnya dalam tradisi Yahudi. Dari tradisi Yahudi, kita beralih untuk menelusuri pemakaian dan makna simbolis ragi dalam peringatan Yesus bagi para murid-Nya dan dalam perumpamaan tentang Kerajaan Surga. Pada bagian akhir, kita akan menelusuri pemakaian dan makna simbolisnya dalam tradisi kristiani, khususnya yang terekam dalam surat-surat Paulus.
Ragi dalam tradisi Yahudi
Dalam tradisi Yahudi, istilah ragi umumnya muncul dalam konteks perayaan keagamaan. Peraturan Paskah dan Roti Tak Beragi, misalnya, menetapkan bahwa ragi tidak boleh dikonsumsi dan ditemukan di rumah-rumah orang Israel. Ragi harus disingkirkan dari rumah tangga Israel sebelum perayaan Paskah. Hanya roti tak beragi yang diperbolehkan untuk dimakan. Orang Israel yang makan sesuatu yang beragi selama perayaan itu akan dihukum secara ekstrem, yakni dilenyapkan dari umat Israel. “Kamu makanlah roti yang tidak beragi tujuh hari lamanya; pada hari pertama pun kamu buanglah segala ragi dari rumahmu, sebab setiap orang yang makan sesuatu yang beragi, dari hari pertama sampai hari ketujuh, orang itu harus dilenyapkan dari antara Israel” (Kel. 12:15; lih. juga 12:19-20, 34, 39, 13:3, 6-7; 23:25; 34:18). Ketetapan ini dikaitkan dengan pengalaman bangsa Israel ketika lari/diusir dari perbudakan Mesir sehingga harus segera pergi dengan terburu-buru.
Larangan makan roti beragi tidak hanya ditemukan dalam peraturan perayaan Paskah, tetapi juga secara luas dalam tradisi Yahudi. Dalam kitab Imamat, kita menemukan larangan untuk memakai ragi dalam kurban sajian yang dipersembahkan kepada Tuhan. “Suatu kurban sajian yang kamu persembahkan kepada TUHAN janganlah diolah beragi, karena dari ragi atau dari madu tidak boleh kamu membakar sesuatu pun sebagai korban api-apian bagi TUHAN” (Im. 2:11; lih. juga 2:4-5; Kel. 29:2, 23; 34:25; Im. 6:16-17; 7:12; 8:2; 10:12; Bil. 6:15, 17, 19; 2 Raj. 23:9). Larangan ini dilandasi oleh pemahaman bahwa ragi umumnya digunakan sebagai kiasan untuk melambangkan sesuatu yang tidak suci, dosa, dan jahat.
Meski secara umum ragi tidak boleh digunakan dalam kurban persembahan kepada Tuhan, namun kita menemukan dua pengecualian. Kitab Pentateukh menyebut dua pengecualian itu di dua tempat tanpa diberikan sebuah penjelasan.[1] Pertama, pemakaian ragi muncul dalam hukum tentang kurban syukur. Ditetapkan bahwa seorang yang mempersembahkan kurban syukur kepada Tuhan “harus beserta dengan roti bundar yang beragi (Ibrani: khamets), di samping kurban syukur yang menjadi kurban keselamatannya” (Im. 7:13).
Kedua, pemakaian ragi muncul lagi dalam peraturan tentang perayaan hasil panen sebagai ucapan syukur atas penyelenggaraan, kebaikan, dan kemurahan hati Allah. Ditetapkan bahwa orang harus “membawa dua buah roti unjukan yang harus dibuat dari dua persepuluh efa tepung yang terbaik dan yang dibakar sesudah dicampur dengan ragi sebagai hulu hasil bagi TUHAN” (Im. 23:17). Roti bakar yang telah dicampur ragi harus dibawa kepada Allah pada waktu perayaan hasil panen sebagai suatu bentuk ucapan syukur atas penyelenggaraan, kebaikan, dan kemurahan-Nya.
(Bersambung)
[1] James C. Vanderkam, “Leaven” dalam Katharine Doob Sakenfeld (ed.), The New Interpreter’s Dictionary of the Bible (Nashville: Abingdon Press, 2008), 627.