Hati yang Peka dan Tanggap

Jumat, 13 Desember 2024 – Peringatan Wajib Santa Lusia

128

Matius 11:16-19

“Dengan apakah akan Kuumpamakan angkatan ini? Mereka itu seumpama anak-anak yang duduk di pasar dan berseru kepada teman-temannya: Kami meniup seruling bagimu, tetapi kamu tidak menari, kami menyanyikan kidung duka, tetapi kamu tidak berkabung. Karena Yohanes datang, ia tidak makan, dan tidak minum, dan mereka berkata: Ia kerasukan setan. Kemudian Anak Manusia datang, Ia makan dan minum, dan mereka berkata: Lihatlah, Ia seorang pelahap dan peminum, sahabat pemungut cukai dan orang berdosa. Tetapi hikmat Allah dibenarkan oleh perbuatannya.”

***

Mari kita mengingat kembali kunjungan Paus Fransiskus ke Indonesia pada tanggal 3-6 September lalu. Tema yang dipilih bagi perjalanan apostolik Bapa Suci adalah: Faith, Fraternity, Compassion, atau: Iman, Persaudaraan, Belarasa. Bapak Kardinal Ignatius Suharyo memberikan uraian yang sangat bagus, bahwa indikator iman itu kelihatan dalam semangat persaudaraan, sementara indikator persaudaraan ada pada belarasa. Dijelaskan bahwa compassion berasal dari kata Latin cum yang artinya “bersama-sama”, dan patiri yang artinya “menderita”. Dengan demikian, belarasa adalah sikap untuk mau berpihak dan merasakan penderitaan yang sama.

Bacaan Injil hari ini menampilkan kebalikan dari itu. Yesus mengkritik orang yang tidak memiliki belarasa, “Kami meniup seruling bagimu, tetapi kamu tidak menari, kami menyanyikan kidung duka, tetapi kamu tidak berkabung.”

Gereja Katolik adalah lembaga yang konsisten memberikan perhatian dalam bentuk aneka macam pelayanan karitatif sebagai ungkapan belarasa. Di paroki tempat saya bekerja, Gereja secara nyata memberikan perhatian kepada mereka yang lemah, miskin, tersingkir, juga para difabel. Ada program Berkah Sumringah (Berkat yang Menggembirakan Hati) yang memberikan bantuan bagi para lansia yang tidak memiliki penghasilan; ada bedah rumah untuk membantu warga miskin agar tempat tinggalnya lebih layak huni; ada bantuan pendidikan bagi para pelajar yang kesulitan membayar uang sekolah atau kuliah; ada pula santunan solidaritas untuk umat yang sakit dan berduka; dan berbagai perhatian lainnya.

Saya yakin paroki-paroki lain memiliki kepedulian yang sama. Semua itu dilakukan bukan karena Gereja berkelimpahan uang, melainkan sebagai tanggapan atas panggilan Tuhan. Aneka bentuk solidaritas tersebut bersumber dari iman kepada Yesus Kristus. Kekuatan untuk melakukannya kita timba dari Yesus Kristus yang telah mempersembahkan hidup-Nya sendiri bagi keselamatan semua orang. Inilah bentuk sikap peka dan tanggap akan apa yang telah diteladankan Kristus kepada kita.