Daniel 7:13-14
Aku terus melihat dalam penglihatan malam itu, tampak datang dengan awan-awan dari langit seorang seperti anak manusia; datanglah ia kepada Yang Lanjut Usianya itu, dan ia dibawa ke hadapan-Nya. Lalu diberikan kepadanya kekuasaan dan kemuliaan dan kekuasaan sebagai raja, maka orang-orang dari segala bangsa, suku bangsa dan bahasa mengabdi kepadanya. Kekuasaannya ialah kekuasaan yang kekal, yang tidak akan lenyap, dan kerajaannya ialah kerajaan yang tidak akan musnah.
***
Coba kita lihat dunia kita saat ini. Seorang raja atau penguasa, semakin besar kuasanya, semakin sulit dijangkau oleh rakyatnya. Semakin ia berkuasa, semakin berlapis pengamanannya. Semakin ia berkuasa, semakin ia membutuhkan sedemikian banyak orang untuk menopang kehidupannya. Itu menggambarkan ironi sekaligus ilusi kekuasaan. Apakah demikian gambaran seorang raja yang diwartakan oleh Yesus?
“Engkau mengatakan bahwa Aku adalah raja,” demikian jawab Yesus di hadapan Pilatus (Yoh. 18:37). Yesus ditangkap, dibelenggu, dan diintimidasi, namun hati-Nya merdeka untuk mewartakan kasih dan kebenaran. Yesus berkata, “Kerajaan-Ku bukan dari dunia ini” (Yoh. 18:36). Kerajaan yang diwartakan-Nya adalah Kerajaan Kasih. Takhta-Nya adalah salib. Pada salib, kita melihat kasih yang berkuasa atas dosa dan maut. Sebagai Raja, Kristus menjadi awal dari penciptaan. Kristus pula yang menopang seluruh ciptaan, membuat semuanya ada dan bertumbuh. Setiap ciptaan mencapai kesempurnaannya di dalam Kristus, seperti yang diungkapkan dalam Kitab Wahyu, “Aku adalah Alfa dan Omega, firman Tuhan Allah, yang ada dan yang sudah ada dan yang akan datang, Yang Mahakuasa.” Kekuasaan-Nya melampaui semesta di mana kita berada saat ini dan di sini, melampaui ruang dan waktu yang bisa kita pahami dengan pikiran manusia yang terbatas ini.
Kasih menjadi cara Kristus merajai alam semesta ini. Ia adalah Raja yang mengasihi kita. Dengan kasih, Ia menjangkau kita dari takhta-Nya. Dengan kasih pula, kita meraih-Nya dari mana pun kita berada. Dengan kasih, kita dibebaskan dari segala macam belenggu dosa dan maut.
Daniel menggambarkan itu dengan ungkapan bahwa anak manusia “tampak datang dengan awan-awan dari langit”. Ini bukan nubuat tentang ketakutan akan akhir zaman. Sebaliknya, gambaran ini merupakan nubuat tentang harapan. Awan-awan bukan menggambarkan malam gelap yang disertai petir yang menyambar, melainkan hari cerah yang berawan. Kristus datang membawa langit berawan yang indah.
Kita bisa belajar dari Daniel. Nubuat harapan itu ia dapatkan dalam “penglihatan malam”. Kita akrab dengan momen-momen seperti itu dalam perjalanan hidup kita, momen-momen yang diungkapkan oleh para mistikus Gereja sebagai “malam gelap jiwa” atau “desolasi”. Itu adalah momen di mana Tuhan terasa begitu jauh dan jalan hidup kita tampak begitu gelap. Belajar dari Daniel, dalam momen desolasi seperti itu, kita diajak untuk melampaui malam gelap kehidupan kita. Kita diajak untuk mengarahkan pandangan kepada Kristus yang datang dari langit, bukan untuk lari dari dunia ini, melainkan untuk melawan godaan untuk tetap tinggal di dalam penjara ketakutan dan dosa yang bisa melumpuhkan kita. Hidup Kristus Raja!