Matius 24:42-51
“Karena itu berjaga-jagalah, sebab kamu tidak tahu pada hari mana Tuhanmu datang.
Tetapi ketahuilah ini: Jika tuan rumah tahu pada waktu mana pada malam hari pencuri akan datang, sudahlah pasti ia berjaga-jaga, dan tidak akan membiarkan rumahnya dibongkar. Sebab itu, hendaklah kamu juga siap sedia, karena Anak Manusia datang pada saat yang tidak kamu duga.”
“Siapakah hamba yang setia dan bijaksana, yang diangkat oleh tuannya atas orang-orangnya untuk memberikan mereka makanan pada waktunya? Berbahagialah hamba, yang didapati tuannya melakukan tugasnya itu, ketika tuannya itu datang. Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya tuannya itu akan mengangkat dia menjadi pengawas segala miliknya. Akan tetapi apabila hamba itu jahat dan berkata di dalam hatinya: Tuanku tidak datang-datang, lalu ia mulai memukul hamba-hamba lain, dan makan minum bersama-sama pemabuk-pemabuk, maka tuan hamba itu akan datang pada hari yang tidak disangkakannya, dan pada saat yang tidak diketahuinya, dan akan membunuh dia dan membuat dia senasib dengan orang-orang munafik. Di sanalah akan terdapat ratapan dan kertakan gigi.”
***
Dalam setiap sesi penyelidikan kanonik bagi calon pengantin, saya selalu mengajak mereka untuk masuk ke dalam pembicaraan yang mendalam agar mereka memahami bagaimana rumah tangga yang akan mereka bangun bersama. Salah satu pertanyaan untuk membawa ke kedalaman adalah tentang tujuan perkawinan. Hampir 90% dari mereka menjawab bahwa tujuan perkawinan adalah untuk memiliki keturunan. Terhadap jawaban tersebut, saya segera menanggapi, “Apakah pasangan yang tidak memiliki anak berarti tujuan mereka gagal?” Mereka pun lantas berpikir keras. Sebagian kemudian sampai kepada jawaban bahwa tujuan perkawinan adalah supaya mereka bahagia dan sejahtera.
Saya kemudian masuk dengan mengajukan beberapa pertanyaan pendalaman. Apa itu bahagia? Apa itu sejahtera? Amat jarang pasangan yang mampu memberikan uraian secara benar, tetapi ada juga yang memberikan jawaban yang menakjubkan, yang bahkan kemudian saya pakai sebagai referensi akan pemahaman yang tepat tentang makna bahagia dan sejahtera. Titik tolaknya adalah sabda Yesus: “Berbahagialah kamu yang miskin.” Mereka menjelaskan bahwa bahagia itu tidak usah menunggu kaya. Bahkan saat tidak berpunya pun orang bisa berbahagia. Bahagia akan dialami apabila hati mampu untuk bersyukur. Hati yang bersyukur adalah rahasia hidup bahagia.
Lalu apa itu sejahtera? Salah satu pasangan pengantin memberi jawaban bahwa rahasia sejahtera adalah apabila orang berani mengatakan cukup akan apa yang dimilikinya. Apabila melulu menuruti keinginan, orang tidak akan pernah merasa cukup. Batin kita harus berani mengatakan cukup pada apa yang ada. Kita harus mampu menikmati apa yang kita miliki, bukan membabi buta mengejar apa yang kita ingini. Apabila memiliki sikap batin demikian, orang pasti hidup sejahtera.
Demikianlah hidup keluarga akan bahagia dan sejahtera apabila mereka memiliki hati yang bersyukur dan berani mengatakan cukup akan apa yang ada. Ada banyak alasan untuk bersyukur, salah satunya anugerah pasangan hidup. Selebihnya untuk segala yang dimiliki dan pendapatan yang diterima dalam keluarga, pasangan suami istri harus berani mengatakan cukup.
Oleh karena itu, dalam pembicaraan dengan pasangan calon pengantin, saya selalu mengatakan kepada mereka, “Tujuan perkawinan itu supaya kalian bertumbuh. Kalian satu sama lain menjadi penolong agar bertumbuh makin bijaksana, makin matang dan dewasa, serta makin beriman. Apabila kalian menjadi pasangan yang bertumbuh, pasti kalian akan diberikan bonus kebahagiaan dan kesejahteraan seperti yang telah dimengerti maknanya.”
Dalam bacaan Injil hari ini, Yesus memerintahkan kita untuk berjaga-jaga. Itu adalah target minimal yang semestinya dihidupi oleh orang Kristen, yakni menjaga iman mereka dari aneka macam gempuran yang dialami dalam kehidupan nyata. Lebih dari itu, kita diajak untuk semakin bertumbuh dalam iman dan semakin teguh dalam keyakinan.
Mari berefleksi: Apa rasa syukur kita hari ini?