Matius 23:27-32
“Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, hai kamu orang-orang munafik, sebab kamu sama seperti kuburan yang dilabur putih, yang sebelah luarnya memang bersih tampaknya, tetapi yang sebelah dalamnya penuh tulang belulang dan pelbagai jenis kotoran. Demikian jugalah kamu, di sebelah luar kamu tampaknya benar di mata orang, tetapi di sebelah dalam kamu penuh kemunafikan dan kedurjanaan.
Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, hai kamu orang-orang munafik, sebab kamu membangun makam nabi-nabi dan memperindah tugu orang-orang saleh dan berkata: Jika kami hidup di zaman nenek moyang kita, tentulah kami tidak ikut dengan mereka dalam pembunuhan nabi-nabi itu. Tetapi dengan demikian kamu bersaksi terhadap diri kamu sendiri, bahwa kamu adalah keturunan pembunuh nabi-nabi itu. Jadi, penuhilah juga takaran nenek moyangmu!”
***
Dalam hidup rohani dikenal istilah acontecimiento, yakni suatu celah kecil yang memungkinkan rahmat Allah menerobos masuk. Yang namanya celah memang tidak lebar, tetapi itu sudah cukup bagi cahaya untuk masuk melaluinya. Saat saya kecil, rumah orang tua saya menggunakan atap dari genting tanpa eternit. Hal itu memberikan pengalaman bagi saya bahwa setiap pagi, selalu ada cahaya matahari menerobos masuk ke dalam rumah karena adanya celah-celah yang kecil.
Setiap orang suci dan nabi selalu memiliki acontecimiento bagi bekerjanya rahmat Tuhan. Bagi Santo Ignasius, celah itu muncul ketika terpaksa membaca buku-buku suci saat sakit di Loyola. Musa pun memiliki pengalaman yang sama. Putra mahkota Kerajaan Mesir ini merasa diri terpanggil untuk menjadi pembebas bagi orang-orang Ibrani yang diperbudak di Mesir setelah suatu hari melihat seorang budak Ibrani dipukuli oleh orang Mesir.
Martin Buber menulis dalam bukunya The Eclipse of God (terbit pertama kali tahun 1952) tentang “gerhana Allah”. Ia menyoroti tentang kenyataan hidup dunia modern. Banyak orang tidak menemukan Allah, padahal Allah selalu hadir. Hal itu terjadi karena orang mengalami gerhana Allah. Orang tidak mampu menemukan Allah karena ada sesuatu yang menghalangi cahaya Allah untuk menerobos masuk.
Itulah yang dialami oleh ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi. Mereka setiap hari melihat di depan mata bahwa Yesus melakukan aneka macam mukjizat. Akan tetapi, mereka tidak mampu mengenali Yesus karena hati mereka diselimuti kebencian, rasa iri, dan kesombongan. Dalam istilah Yesus, mereka ini sama seperti kuburan! Tuhan hanya membutuhkan celah kecil saja agar cahaya-Nya dapat menerobos kegelapan hati kita. Bila itu terjadi, Tuhan akan sungguh-sungguh hadir dalam hidup kita.
Rasul Paulus membuka seluas-luasnya pintu hatinya bagi Tuhan. Karena itu, cahaya terang Tuhan masuk dengan deras sampai menyilaukan matanya. Sejak saat itu, Paulus tidak hanya memulai hidup baru dengan menjadi rasul Yesus, ia pun menghidupi secara sempurna ajaran-ajaran Yesus.
Sama seperti ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi yang tidak mampu mengenali Yesus yang hadir di depan mata mereka, apabila kita gagal memahami kehadiran Tuhan dalam hidup kita sehari-hari, itu berarti kita sedang mengalami “gerhana Allah”. Kita terlalu kuat membangun tembok egoisme diri, sehingga cahaya-Nya tidak menemukan celah untuk menerobos masuk ke dalam relung hati kita.
Mari berefleksi: Bersediakah kita membuka hati kita agar cahaya kasih Allah mampu menerobos ke dalamnya?