Menggenapi Hukum Taurat

Senin, 19 Juni 2023 – Hari Biasa Pekan XI

87

Matius 5:38-42

“Kamu telah mendengar firman: Mata ganti mata dan gigi ganti gigi. Tetapi Aku berkata kepadamu: Janganlah kamu melawan orang yang berbuat jahat kepadamu, melainkan siapa pun yang menampar pipi kananmu, berilah juga kepadanya pipi kirimu. Dan kepada orang yang hendak mengadukan engkau karena mengingini bajumu, serahkanlah juga jubahmu. Dan siapa pun yang memaksa engkau berjalan sejauh satu mil, berjalanlah bersama dia sejauh dua mil. Berilah kepada orang yang meminta kepadamu dan janganlah menolak orang yang mau meminjam darimu.”

***

Rumusan antitesis dipakai Yesus untuk menegaskan pesan-Nya: “Kamu telah mendengar … tetapi Aku berkata kepadamu…” Dengan itu, Yesus menggenapi hukum Taurat. Artinya, Ia menafsirkan perintah-perintah Taurat sesuai dengan maksud aslinya, yang menjadi kehendak Allah, Bapa-Nya.

Pertama, tidak mengupayakan pembalasan. Hukum Taurat menekankan bahwa kerugian harus dibalas, tetapi secara proporsional, tidak berlebihan. “Mata ganti mata”, “gigi ganti gigi”, jangan sampai meningkat, misalnya menjadi “leher ganti mata” atau “kepala ganti gigi”. Jadi, hukum Taurat sudah berupaya menghentikan eskalasi pembalasan dan kekerasan. Namun, Yesus menuntut lebih: Jangan melawan kejahatan dengan kejahatan! Lingkaran balas-membalas itulah yang harus diputuskan. Jangan mengikuti logika kekerasan yang dianut pihak lawan. Penghinaan (menampar pipi kanan) adalah senjata untuk merendahkan sesama. Pengikut Yesus tidak perlu memakai senjata yang sama, justru harus “mengembalikan senjata” itu kepada lawan (memberi juga pipi kiri). Artinya, senjata lawan itu tidak mempan membuat kita marah atau membalas dendam! Pihak lawan justru diundang untuk berdamai dan berhenti memakai senjata penghinaan.

Kedua, merampas diganti dengan memberi. Hukum Taurat mengatur bahwa jubah seseorang dapat diambil sebagai jaminan utang (Ul. 24:12-13). Namun, jubah itu harus dikembalikan saat malam, agar seorang yang miskin tidak kedinginan. Yesus ingin agar para murid-Nya keluar dari logika hukum “mengambil” ini. Kalau mereka dituntut untuk menyerahkan baju, harap mereka menyerahkan jubah juga. Dengan itu, para murid Yesus menyadarkan si perampas bahwa tindakannya mengambil tidak akan membuat mereka rugi atau berkekurangan. Mereka tetap memiliki lebih, sehingga dapat memberi tanpa pamrih.

Ketiga, paksaan dilawan dengan pelayanan. Pejabat dan tentara Romawi berhak memaksa warga jajahan untuk membawakan barang-barang mereka sekitar satu mil (bdk. Simon dari Kirene, Mat. 27:32). Itu hak penjajah dan tentara di wilayah penaklukan. Bagi orang Yahudi, tindakan tersebut merupakan penghinaan dan simbol penjajahan. Yesus meminta para murid-Nya untuk tidak terjebak dalam cara berpikir dan mentalitas “penjajah vs. jajahan”. Sementara orang lain melihat pekerjaan tertentu sebagai pemaksaan dan simbol kekuasaan, pengikut Yesus harus melakukannya sebagai pelayanan. Karena itu, pemaksaan tidak perlu ditolak atau dilawan dengan cara-cara kekerasan, tetapi justru harus membangkitkan pelayanan.