Markus 2:18-22
Pada suatu kali ketika murid-murid Yohanes dan orang-orang Farisi sedang berpuasa, datanglah orang-orang dan mengatakan kepada Yesus: “Mengapa murid-murid Yohanes dan murid-murid orang Farisi berpuasa, tetapi murid-murid-Mu tidak?” Jawab Yesus kepada mereka: “Dapatkah sahabat-sahabat mempelai laki-laki berpuasa sedang mempelai itu bersama mereka? Selama mempelai itu bersama mereka, mereka tidak dapat berpuasa. Tetapi waktunya akan datang mempelai itu diambil dari mereka, dan pada waktu itulah mereka akan berpuasa. Tidak seorang pun menambalkan secarik kain yang belum susut pada baju yang tua, karena jika demikian kain penambal itu akan mencabiknya, yang baru mencabik yang tua, lalu makin besarlah koyaknya. Demikian juga tidak seorang pun mengisikan anggur yang baru ke dalam kantong kulit yang tua, karena jika demikian anggur itu akan mengoyakkan kantong itu, sehingga anggur itu dan kantongnya dua-duanya terbuang. Tetapi anggur yang baru hendaknya disimpan dalam kantong yang baru pula.”
***
Dalam bacaan Injil hari ini, Yesus dihadapkan pada pertanyaan seputar kebiasaan berpuasa. Selain mengikuti apa yang ditentukan oleh hukum Taurat, banyak orang Yahudi juga menjalankan kebiasaan berpuasa lainnya, baik yang bersifat umum maupun pribadi. Ada yang berpuasa setahun sekali, yang lain berpuasa sekali atau dua kali seminggu. Puasa merupakan ungkapan penyesalan, silih atas dosa, juga suatu bentuk penyucian diri. Orang-orang Yahudi yang saleh menganggap puasa sebagai tindakan yang sesuai dengan kebajikan agama dan sesuatu yang sangat berharga di hadapan Tuhan. Dengan berpuasa, orang berpaling kepada Tuhan dalam kerendahan hati untuk meminta pengampunan. Dengan berpuasa, orang berusaha menghindar dari segala hal yang menjauhkannya dari Tuhan.
Menariknya, Yesus tidak menanamkan praktik berpuasa kepada para murid-Nya. Hal ini mengejutkan dan membuat sejumlah orang yang sering mendengarkan pengajaran-Nya bertanya-tanya. Mereka beranggapan bahwa sikap Yesus tersebut menunjukkan sikap acuh tak acuh terhadap hukum yang berlaku.
Tanggapan Yesus atas keluhan itu semakin mengejutkan mereka. Ia membandingkan diri-Nya dengan seorang mempelai pria: “Dapatkah sahabat-sahabat mempelai laki-laki berpuasa sedang mempelai itu bersama mereka? Selama mempelai itu bersama mereka, mereka tidak dapat berpuasa.” Menurut tradisi para nabi, mempelai laki-laki merujuk kepada Allah sendiri, sedangkan perjamuan merupakan manifestasi sukacita kasih Allah kepada umat manusia.
Pernyataan Yesus semakin tegas dan jelas ketika Ia mengutarakan perumpamaan tentang anggur yang baru yang hendaknya disimpan dalam kantong yang baru. Ini adalah sebuah undangan untuk melepaskan diri dari ritme dan kebiasaan lama, dari kebiasan membeo dan ikut arus. Dengan itu, Yesus mau mengingatkan para pendengar-Nya bahwa mereka harus menerima pesan-Nya dengan semangat baru, serta harus berusaha mematahkan rutinitas lama yang kaku. Setiap ajaran agama harus dipatuhi karena kasih, bukan karena melihat yang lain juga melakukannya, bukan pula supaya dipuji orang.
Mengubah mentalitas memang sangat sulit. Kita senang mendengarkan nasihat-nasihat yang bagus, gampang mengatakan “ya” terhadap ajakan untuk berubah, tetapi dalam kenyataan, kita kemudian tidak berbuat apa-apa. Mengubah mentalitas dan gaya hidup adalah tugas yang sulit karena kita tidak memiliki kemauan untuk melakukannya. Mari kita bertanya pada diri kita masing-masing: Seberapa jauh kita mampu berubah untuk benar-benar menyambut Yesus dalam hidup kita?