Matius 21:28-32
“Tetapi apakah pendapatmu tentang ini: Seorang mempunyai dua anak laki-laki. Ia pergi kepada anak yang sulung dan berkata: Anakku, pergi dan bekerjalah hari ini dalam kebun anggur. Jawab anak itu: Baik, bapa. Tetapi ia tidak pergi. Lalu orang itu pergi kepada anak yang kedua dan berkata demikian juga. Dan anak itu menjawab: Aku tidak mau. Tetapi kemudian ia menyesal lalu pergi juga. Siapakah di antara kedua orang itu yang melakukan kehendak ayahnya?” Jawab mereka: “Yang terakhir.” Kata Yesus kepada mereka: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya pemungut-pemungut cukai dan perempuan-perempuan sundal akan mendahului kamu masuk ke dalam Kerajaan Allah. Sebab Yohanes datang untuk menunjukkan jalan kebenaran kepadamu, dan kamu tidak percaya kepadanya. Tetapi pemungut-pemungut cukai dan perempuan-perempuan sundal percaya kepadanya. Dan meskipun kamu melihatnya, tetapi kemudian kamu tidak menyesal dan kamu tidak juga percaya kepadanya.”
***
Hari ini kita memperingati St. Lusia yang lahir di Sirakusa, Pulau Sisilia, Italia pada abad keempat. Ayahnya meninggal dunia saat ia masih kecil. Sejak remaja, Lusia sudah berikrar untuk tidak menikah dan hidup suci murni. Setelah dewasa, ibunya mendesaknya untuk menikah dengan seorang pemuda yang tidak beriman, tetapi ia menolaknya dengan tegas. Kekaisaran Romawi waktu itu diperintah oleh seorang kaisar yang bengis, yang memaksa seluruh rakyat untuk menyembahnya dan menyembah patung dewa-dewi Romawi. Umat Kristen yang mempertahankan imannya ditangkap, disiksa, dan dibunuh.
Pemuda-pemuda yang menaruh hati pada Lusia namun ditolak olehnya memanfaatkan situasi itu untuk membalas dendam. Mereka melaporkan identitas keluarga Lusia sebagai keluarga Kristen kepada kaisar. Akibatnya, Lusia ditangkap. Dengan berbagai cara, ia dirayu agar mau meninggalkan iman dan kemurniannya. Namun, Lusia tak terkalahkan. Ia bertahan dengan gagah berani. Algojo akhirnya diperintahkan untuk memenggal kepala Lusia, sehingga ia tewas sebagai martir Kristus. Gereja menghormati Lusia sebagai perawan dan martir. Dia telah menghidupi imannya dan melaksanakan kehendak Bapa dengan kemurnian jiwa dan raga, serta dengan tindakan kemartiran.
Bacaan Injil hari ini juga mengisahkan tentang bagaimana kita seharusnya melaksanakan kehendak Bapa. Kepada para imam kepala dan tua-tua bangsa Yahudi, Yesus mengajukan pertanyaan tentang mana yang lebih baik: Anak yang mengatakan “ya” tetapi tidak melakukannya, atau yang mengatakan “tidak” tetapi lalu menyesal dan melaksanakannya. Mereka menjawab yang terakhir, dan Yesus membenarkan jawaban itu dengan mengatakan bahwa para pemungut cukai dan pelacur akan lebih mendahului mereka masuk ke dalam Kerajaan Allah. Mereka diterima dalam Kerajaan Allah karena bertobat setelah mendengarkan pewartaan Yohanes Pembaptis. Tidak demikian dengan para imam kepala dan tua-tua bangsa Yahudi. Mereka tetap saja tidak percaya dan tidak mau bertobat. Mereka banyak tahu tentang kebenaran, tetapi tidak mau melaksanakannya.
Kita mungkin seperti orang-orang yang dikritik Yesus hari ini: Banyak bicara, tetapi tidak melakukan apa yang kita bicarakan. Mari kita melihat diri kita sendiri: Apakah kita sudah memberi kesaksian iman dengan tindakan nyata? Ataukah kita masih melakukannya dengan kata-kata belaka? Selain rajin ke Gereja, mendengarkan sabda, berdoa, dan berdevosi, sudahkah kita melaksanakan perbuatan-perbuatan cinta kasih kepada sesama?
Allah lebih melihat perbuatan-perbuatan kita sebagai buah iman daripada kata-kata belaka. Karena itu, hendaknya kita beriman dan menghidupi iman kita dengan tindakan nyata. Percaya bukan hanya dalam pikiran dan kata-kata, melainkan mesti diwujudnyatakan dalam tindakan dan perbuatan. Mari kita melanjutkan masa penantian ini dengan pertobatan. Semoga Roh Kudus senantiasa meneguhkan kita.