Beragama dan Berkeadilan

Jumat, 2 September 2022 – Hari Biasa Pekan XXII

154

Lukas 5:33-39

Orang-orang Farisi itu berkata pula kepada Yesus: “Murid-murid Yohanes sering berpuasa dan sembahyang, demikian juga murid-murid orang Farisi, tetapi murid-murid-Mu makan dan minum.” Jawab Yesus kepada mereka: “Dapatkah sahabat mempelai laki-laki disuruh berpuasa, sedang mempelai itu bersama mereka? Tetapi akan datang waktunya, apabila mempelai itu diambil dari mereka, pada waktu itulah mereka akan berpuasa.”

Ia mengatakan juga suatu perumpamaan kepada mereka: “Tidak seorang pun mengoyakkan secarik kain dari baju yang baru untuk menambalkannya pada baju yang tua. Jika demikian, yang baru itu juga akan koyak dan pada yang tua itu tidak akan cocok kain penambal yang dikoyakkan dari yang baru itu. Demikian juga tidak seorang pun mengisikan anggur yang baru ke dalam kantong kulit yang tua, karena jika demikian, anggur yang baru itu akan mengoyakkan kantong itu dan anggur itu akan terbuang dan kantong itu pun hancur. Tetapi anggur yang baru harus disimpan dalam kantong yang baru pula. Dan tidak seorang pun yang telah minum anggur tua ingin minum anggur yang baru, sebab ia akan berkata: Anggur yang tua itu baik.”

***

Puasa, bersama doa dan sedekah, adalah praktik kesalehan dalam agama Yahudi. Pengikut Yohanes Pembaptis dan kaum Farisi memang berpuasa. Yesus tentu tidak melarang puasa per se. Ia selalu berfokus pada inti dan maksud semua laku kesalehan seperti itu. Dalam Perjanjian Lama, puasa berkaitan dengan tema pengharapan. Dunia yang ada sekarang ini tidak mutlak dan tidak sempurna, maka manusia mesti berharap akan dunia yang ideal di masa yang akan datang. Tanda pengharapan itu diungkapkan dengan berpuasa: Tidak menganggap makanan dan minuman yang disediakan dunia ini sebagai sesuatu yang mutlak!

Dengan kedatangan Yesus, harapan akan masa depan itu mulai terpenuhi. Karenanya, puasa menjadi tidak relevan. Yang diharapkan sudah datang dan sedang hadir di tengah manusia dalam diri dan karya Yesus. Dia bagaikan pengantin yang hadir di tengah pesta. Karena itu, para sahabat pengantin, yakni murid-murid Yesus, belum perlu berpuasa. Setelah Yesus wafat kelak barulah mereka akan berpuasa. Artinya, pada saat itulah para pengikut Yesus mulai mengarahkan hidup mereka untuk menantikan Tuhan yang akan kembali.

Pengharapan itulah yang diungkapkan dengan berpuasa, tetapi hal itu harus selalu dikaitkan dengan keadilan dan kebenaran. Itulah puasa yang menghasilkan buah. Seperti para nabi dahulu, seruan Yesus juga menegaskan kaitan tak terpisahkan antara beragama dan berkeadilan. Agama sejati adalah agama yang  memajukan keadilan, kebenaran, kesetaraan, perdamaian, dan keutuhan ciptaan!

Dengan itu, Yesus sebenarnya tidak sedang memberi cap keutamaan dan praktik keagamaan Yahudi sebagai sesuatu yang sudah “lama” dan tidak cocok dengan ajaran-Nya yang “baru”. Yesus hanya mau menegaskan bahwa sabda dan karya-Nya adalah perwujudan atau buah dari rencana Allah yang sudah sejak lama direncanakan-Nya. Untuk sungguh menerimanya, mentalitas lama ala kaum Farisi memang tidak cukup dan tidak cocok lagi.