Matius 5:20-26
“Maka Aku berkata kepadamu: Jika hidup keagamaanmu tidak lebih benar daripada hidup keagamaan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, sesungguhnya kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Surga.
Kamu telah mendengar yang difirmankan kepada nenek moyang kita: Jangan membunuh; siapa yang membunuh harus dihukum. Tetapi Aku berkata kepadamu: Setiap orang yang marah terhadap saudaranya harus dihukum; siapa yang berkata kepada saudaranya: Kafir! harus dihadapkan ke Mahkamah Agama dan siapa yang berkata: Jahil! harus diserahkan ke dalam neraka yang menyala-nyala.
Sebab itu, jika engkau mempersembahkan persembahanmu di atas mezbah dan engkau teringat akan sesuatu yang ada dalam hati saudaramu terhadap engkau, tinggalkanlah persembahanmu di depan mezbah itu dan pergilah berdamai dahulu dengan saudaramu, lalu kembali untuk mempersembahkan persembahanmu itu.
Segeralah berdamai dengan lawanmu selama engkau bersama-sama dengan dia di tengah jalan, supaya lawanmu itu jangan menyerahkan engkau kepada hakim dan hakim itu menyerahkan engkau kepada pembantunya dan engkau dilemparkan ke dalam penjara. Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya engkau tidak akan keluar dari sana, sebelum engkau membayar hutangmu sampai lunas.”
***
Yesus bersabda kepada kita, “Jika hidup keagamaanmu tidak lebih benar daripada hidup keagamaan ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, sesungguhnya kamu tidak akan masuk ke dalam Kerajaan Surga.”
Pastor James Martin SJ menulis bahwa jalan iman merupakan salah satu jalan menuju Allah. Dia meneruskan bahwa bahaya serius bagi mereka yang berada di jalan iman ini adalah mandeknya relasi personal dengan Allah. Beberapa orang yang berada di jalan iman sering kali terlalu terpaku pada model penghayatan iman yang mereka pahami saat masih anak-anak, padahal model iman gaya anak-anak belum tentu dapat diaplikasikan ketika sudah dewasa.
Misalnya, kita mungkin tetap teguh pada keyakinan dahulu saat masih anak-anak bahwa Tuhan pasti tidak membiarkan hal buruk terjadi. Ketika suatu waktu hal buruk terjadi, kejadian itu lantas mengoyak konsep iman kita tentang Allah. Kita menjadi kecewa bahwa iman masa kecil ternyata tidak terwujud dalam realitas. Peristiwa semacam itu mestinya menjadi kesempatan untuk bertumbuh dalam iman. Kalau tidak, itu bisa membuat kita dengan mudah meninggalkan Allah.
Hidup orang dewasa membutuhkan iman yang dewasa pula. Sama seperti seorang anak yang sudah beranjak dewasa membutuhkan cara baru untuk berelasi dengan orang tuanya, demikian pula orang dewasa yang beriman memerlukan cara baru untuk berelasi dengan Allah.
Saya belajar dari refleksi Walter Burghardt dalam bukunya Saints and Sanctity tentang bagaimana seorang dewasa bertumbuh dalam iman dengan mengolah kegagalan. Ditulisnya tentang St. Fransiskus Xaverius yang meninggal di sebuah pulau kecil, hanya berjarak sebelas kilometer dari bibir pesisir Tiongkok yang menjadi tujuan terakhir perjalanan misinya. Karena tidak mampu mencapai tujuannya, Xaverius merasa bahwa dirinya telah gagal.
“Ini adalah hal yang amat sulit diterima oleh manusia, bahkan bagi Xaverius. Hanya karena saya berusaha melakukan karya Allah dengan segenap kekuatan tidak menjamin bahwa rencana saya akan berhasil. Tidak ada garansi bahwa seorang rasul kristiani yang mumpuni tidak akan tumbang pada masa jayanya. Tidak ada jaminan bahwa karena Anda telah memberikan diri dalam suatu pernikahan kristiani, persekutuan kalian akan berlangsung selamanya. Tidak ada jaminan bahwa karena Anda mengasihi Allah dengan begitu intens, Anda tidak akan kehilangan pekerjaan, rumah, keluarga, dan kesehatan. Tidak ada jaminan bahwa karena Anda percaya, Anda lalu tidak akan mengalami keraguan; karena Anda berharap, Anda tidak akan tawar hati; karena Anda mengasihi, kasih Anda tidak akan menguap.”
“Anda melakukan tugas Anda sebagai orang kristiani sebagaimana Allah memberikannya kepada Anda. Sisanya berada di tangan-Nya. Allah masih menggunakan apa yang oleh dunia dianggap bodoh untuk mempermalukan yang bijak. Allah masih menggunakan apa yang oleh dunia dianggap lemah untuk mempermalukan yang kuat. Allah masih menggunakan apa yang oleh dunia dianggap hina, tidak penting, dan tidak nyata untuk meniadakan realitas. Dalam pengertian ini, tidak ada yang namanya frustrasi kristiani dan kegagalan orang kristiani.”