Pemberian yang Bernilai

Senin, 25 November 2024 – Hari Biasa Pekan XXXIV

8

Lukas 21:1-4

Ketika Yesus mengangkat muka-Nya, Ia melihat orang-orang kaya memasukkan persembahan mereka ke dalam peti persembahan. Ia melihat juga seorang janda miskin memasukkan dua peser ke dalam peti itu. Lalu Ia berkata: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya janda miskin ini memberi lebih banyak daripada semua orang itu. Sebab mereka semua memberi persembahannya dari kelimpahannya, tetapi janda ini memberi dari kekurangannya, bahkan ia memberi seluruh nafkahnya.”

***

Berada di dekat tempat orang-orang memasukkan persembahan di Bait Allah, Yesus melihat seorang janda miskin memasukkan koin sebesar dua peser ke dalam peti. Satu peser adalah koin terkecil. Yesus kemudian berkata, “Sesungguhnya janda miskin ini memberi lebih banyak daripada semua orang itu. Sebab mereka semua memberi persembahannya dari kelimpahannya, tetapi janda ini memberi dari kekurangannya, bahkan ia memberi seluruh nafkahnya.” Janda miskin ini memberikan semua yang ia punya.

Apa yang bisa menentukan nilai sebuah pemberian? Kita bisa menentukan nilai sebuah pemberian dari motivasinya. Pemberian bisa dilakukan dengan motivasi yang tidak tulus atau egois. Di media sosial, kita biasa menjumpai aksi-aksi amal dan derma yang intensi utamanya adalah untuk mendapatkan likes, shares, atau subscribers. Dari pemberian seperti itu, si penerima menjadi sarana bagi si pemberi agar si pemberi mendapatkan keuntungan finansial atau material. Pada musim kampanye, para calon pemimpin berlomba-lomba memberikan derma dan beramal agar bisa mendapatkan dukungan suara. Pemberian seperti ini dilakukan demi popularitas si pemberi.

Bahkan motivasi yang tampaknya mulia dan luhur pun bisa mengelabui kita, membuat kita jatuh pada pencarian pamrih. Misalnya, orang bersedekah agar mendapatkan surga dan pahala dari Allah. Hal ini perlahan bisa menggeser pemahaman kita mengenai pahala atau rahmat. Surga atau pahala tidak lagi dilihat sebagai rahmat Allah, tetapi sebagai hak yang bisa kita tuntut dari Allah. Motivasi juga bisa bergeser. Misalnya, orang merasa terpaksa memberi karena kalau tidak memberi, dia takut bahwa Allah akan marah dan menutup peluangnya untuk masuk surga. Bukankah pemberian semacam adalah pemberian yang egois? Orang memberi untuk kepentingan dirinya sendiri, bukan untuk kebutuhan si penerima. Pemberian semacam itu kehilangan nilai dan keluhurannya.

Pemberian yang sungguh-sungguh bernilai adalah pemberian yang diberikan dari hati yang tulus tanpa mengharapkan pamrih. Kita diajak untuk memberikan yang terbaik yang kita punya untuk keluarga, sesama, dan untuk Tuhan. Yang kita punya tidak harus berupa uang atau materi, tetapi juga bisa berupa tenaga, waktu, pemikiran, atau perhatian. Pemberian yang bernilai adalah pemberian yang memperhatikan kebutuhan si penerima. Pemberian menjadi luhur jika di dalamnya ada pengorbanan, bukan mengorbankan orang lain, melainkan mengorbankan kenyamanan kita demi kebutuhan orang lain. Pengorbanan yang seperti ini adalah bentuk lain dari kasih. Dengan kata lain, pemberian yang paling bernilai adalah pemberian yang berdasarkan pada kasih. Yesus memberi pesan kepada para murid-Nya, “Tidak ada kasih yang lebih besar daripada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-sahabatnya” (Yoh. 15:13). Itulah pemberian diri yang diteladankan oleh Yesus, yaitu pengosongan diri. Yesus memberikan semua yang Ia punya, yakni seluruh hati, jiwa, dan akal budi, untuk keselamatan kita.

Inilah undangan bagi kita untuk menjadikan hidup kita sebagai persembahan bagi Tuhan dan sesama. Semoga Tuhan berkenan.