Memberi dengan Tulus

Minggu, 10 November 2024 – Hari Minggu Biasa XXXII

80

Markus 12:38-44

Dalam pengajaran-Nya Yesus berkata: “Hati-hatilah terhadap ahli-ahli Taurat yang suka berjalan-jalan memakai jubah panjang dan suka menerima penghormatan di pasar, yang suka duduk di tempat terdepan di rumah ibadat dan di tempat terhormat dalam perjamuan, yang menelan rumah janda-janda, sedang mereka mengelabui mata orang dengan doa yang panjang-panjang. Mereka ini pasti akan menerima hukuman yang lebih berat.”

Pada suatu kali Yesus duduk menghadapi peti persembahan dan memperhatikan bagaimana orang banyak memasukkan uang ke dalam peti itu. Banyak orang kaya memberi jumlah yang besar. Lalu datanglah seorang janda yang miskin dan ia memasukkan dua peser, yaitu satu duit. Maka dipanggil-Nya murid-murid-Nya dan berkata kepada mereka: “Aku berkata kepadamu, sesungguhnya janda miskin ini memberi lebih banyak daripada semua orang yang memasukkan uang ke dalam peti persembahan. Sebab mereka semua memberi dari kelimpahannya, tetapi janda ini memberi dari kekurangannya, semua yang ada padanya, yaitu seluruh nafkahnya.”

***

Dalam dunia politik, kita tidak asing dengan istilah “pencitraan”. Pencitraan adalah salah satu strategi untuk mendapatkan simpati, persepsi, dan kesan positif dari publik dengan menampilkan citra atau gambaran diri yang positif melalui sikap, tindakan, gaya bicara, bahkan penampilan. Kecanggihan teknologi media sosial zaman ini sangat mempermudah orang untuk mencitrakan dirinya agar terlihat positif, padahal kenyataannya tidak demikian. Manipulatif dan tidak otentik adalah gambaran diri yang sesungguhnya dari orang yang suka melakukan pencitraan.

Yesus dalam bacaan Injil hari ini mengingatkan kepada para murid dan kita semua, “Hati-hatilah terhadap ahli-ahli Taurat yang suka berjalan-jalan memakai jubah panjang dan suka menerima penghormatan di pasar.” Tidak hanya mengingatkan untuk hati-hati, Yesus juga mengajak kita agar jangan sampai melakukan dan berbuat demikian.

Sebaliknya, Ia mengajak kita untuk mengarahkan pandangan kita kepada seorang janda di Yerusalem. Tanpa memperhitungkan untung dan rugi, janda itu memberikan segala yang ia miliki untuk Tuhan di Bait Allah. Dia memberikannya secara diam-diam karena tidak ingin mencari gengsi, sensasi, pujian, dan apresiasi. Dia tidak ingin tindakannya itu diketahui orang banyak, berbeda dengan kebanyakan orang zaman ini yang suka mengunggah segala sesuatunya ke media sosial agar viral dan dilihat oleh banyak orang.

Memberi harus berasal dari hati yang tulus dan murni. Memberi tidak diukur dari besar kecilnya pemberian, tetapi dari ketulusan dan kerelaan hati. Dalam perikop lain, Yesus pernah berkata, “Jika engkau memberi sedekah, janganlah diketahui tangan kirimu apa yang diperbuat tangan kananmu. Hendaklah sedekahmu itu diberikan dengan tersembunyi, maka Bapamu yang melihat yang tersembunyi akan membalasnya kepadamu” (Mat. 6:3-4).

Tindakan pencitraan, manipulatif, dan tidak otentik dari para ahli Taurat dikritik oleh Yesus. Ia menghendaki agar perbuatan kasih dan kebaikan berasal dari ketulusan dan kerelaan hati. Bagaimana dengan kita? Apakah tindakan kasih dan perbuatan baik kita berangkat dari ketulusan hati? Ataukah ternyata “ada udang di balik batu”?