Membuka Telinga dan Lidah Rohani Kita

Minggu, 8 September 2024 – Hari Minggu Biasa XXIII

119

Markus 7:31-37

Kemudian Yesus meninggalkan pula daerah Tirus dan dengan melalui Sidon pergi ke danau Galilea, di tengah-tengah daerah Dekapolis. Di situ orang membawa kepada-Nya seorang yang tuli dan yang gagap dan memohon kepada-Nya, supaya Ia meletakkan tangan-Nya atas orang itu. Dan sesudah Yesus memisahkan dia dari orang banyak, sehingga mereka sendirian, Ia memasukkan jari-Nya ke telinga orang itu, lalu Ia meludah dan meraba lidah orang itu. Kemudian sambil menengadah ke langit Yesus menarik nafas dan berkata kepadanya: “Efata!”, artinya: Terbukalah! Maka terbukalah telinga orang itu dan seketika itu terlepas pulalah pengikat lidahnya, lalu ia berkata-kata dengan baik. Yesus berpesan kepada orang-orang yang ada di situ supaya jangan menceriterakannya kepada siapa pun juga. Tetapi makin dilarang-Nya mereka, makin luas mereka memberitakannya. Mereka takjub dan tercengang dan berkata: “Ia menjadikan segala-galanya baik, yang tuli dijadikan-Nya mendengar, yang bisu dijadikan-Nya berkata-kata.”

***

Bacaan Injil hari ini, tentang Yesus yang menyembuhkan seorang yang tuli dan gagap, menyajikan kisah yang sangat kaya akan makna dan pelajaran. Kisah ini bukan hanya tentang mukjizat fisik, melainkan mengandung pula pesan yang mendalam tentang hubungan kita dengan Tuhan dan sesama.

Perjalanan Yesus yang melampaui batas. Kisah dimulai dengan Yesus yang meninggalkan wilayah Tirus, berjalan melewati Sidon, menuju ke Danau Galilea, ke daerah Dekapolis. Ini menunjukkan betapa Yesus rela melampaui batas-batas geografis dan kultural untuk menjangkau mereka yang membutuhkan. Dekapolis adalah wilayah yang mayoritas penduduknya orang bukan Yahudi. Kehadiran Yesus di sana menegaskan bahwa kasih dan kuasa-Nya tidak terbatas pada kelompok tertentu saja, tetapi terbuka untuk semua orang. Ini mengingatkan kita bahwa Tuhan mencari dan menjangkau setiap orang, tanpa memandang latar belakang atau keadaan mereka.

Yesus mendekati secara personal dan penuh kasih. Ketika Yesus bertemu dengan orang yang tuli dan gagap itu, Dia tidak langsung melakukan mukjizat di depan orang banyak. Sebaliknya, Dia membawa orang itu menjauh dari kerumunan. Tindakan ini sangat berarti, sebab menunjukkan bahwa Yesus memperlakukan orang itu dengan penuh penghargaan dan kasih sayang. Dia memahami rasa malu dan keterasingan yang mungkin dirasakan orang itu karena kondisi fisiknya. Yesus lalu menyentuh telinga dan lidah orang itu, tindakan yang sangat intim dan penuh empati. Ini menunjukkan bahwa Yesus benar-benar peduli terhadap penderitaan fisik dan emosional yang dialami orang itu. Dalam hidup kita, Tuhan juga mendekati kita secara pribadi. Dia memahami dan peduli terhadap setiap detail penderitaan kita. Dia tidak sekadar mengamati dari jauh, tetapi terlibat secara mendalam dalam hidup kita, turut merasakan apa yang kita rasakan.

Efata. Yesus kemudian menengadah ke langit, menghela napas, dan berkata, “Efata!”, yang berarti: “Terbukalah!” Seketika itu juga, telinga orang tersebut terbuka, dan lidahnya yang dahulu terbelit bisa berbicara dengan jelas. Seruan efata tidak hanya berlaku bagi telinga dan lidah yang secara fisik tertutup, tetapi juga bagi hati manusia yang sering tertutup terhadap panggilan Tuhan. Sering kali, kita mengalami tuli rohani, di mana kita tidak mampu mendengar suara Tuhan karena berbagai gangguan dalam hidup kita, seperti dosa, kekhawatiran, ketidakpercayaan, dan keraguan. Kita juga sering mengalami kegagapan rohani, di mana kita tidak mampu mengungkapkan iman atau kesaksian kita tentang Tuhan karena rasa takut atau kurangnya kepercayaan diri. Yesus datang untuk membuka telinga kita agar kita dapat mendengar suara-Nya dengan jelas, juga untuk melepaskan lidah kita agar kita dapat berbicara tentang kasih dan kebenaran-Nya. Mukjizat ini adalah simbol dari pembebasan yang lebih besar, yakni pembebasan dari segala hal yang menghalangi kita untuk mengalami kepenuhan hidup di dalam Tuhan.

Respon orang banyak. Setelah melihat mukjizat ini, orang banyak sangat terpesona dan berkata, “Ia menjadikan segala-galanya baik, yang tuli dijadikan-Nya mendengar, yang bisu dijadikan-Nya berkata-kata.” Pernyataan ini mencerminkan pengakuan atas keilahian Yesus dan penggenapan janji-janji Allah. Dalam kisah penciptaan di Kitab Kejadian, Allah melihat bahwa segala sesuatu yang telah Ia ciptakan itu “sungguh amat baik” (Kej. 1:31). Yesus, sebagai sang Pencipta yang menjadi manusia, datang untuk memulihkan ciptaan yang telah rusak akibat dosa. Mukjizat Yesus ini adalah tanda bahwa Kerajaan Allah telah datang ke dunia. Segala sesuatu akan dipulihkan ke dalam keadaan yang baik sesuai dengan rancangan Allah yang semula. Ini adalah pengharapan bagi kita semua bahwa dalam Kristus, kita dapat mengalami pemulihan dan hidup dalam kepenuhan yang dirancang oleh Tuhan.

Kisah ini mengajak kita untuk merenungkan keadaan rohani kita sendiri. Apakah telinga kita terbuka untuk mendengar firman Tuhan? Apakah lidah kita bebas untuk memuji dan berbicara tentang kasih-Nya? Jika kita merasa ada sesuatu yang menghalangi kita, mari kita datang kepada Yesus, sang Tabib Agung, yang dengan kasih-Nya mampu membuka segala yang tertutup dan memulihkan segala yang rusak. Seperti orang yang tuli dan gagap dalam kisah ini, kita juga bisa mengalami mukjizat rohani yang luar biasa kalau kita membiarkan Yesus bekerja dalam hidup kita. Dengan telinga yang terbuka dan lidah yang terlepas, kita akan hidup dalam kebebasan yang sejati, memuliakan Tuhan dengan seluruh keberadaan kita, dan menjadi saksi hidup akan kasih dan kuasa-Nya yang tak terbatas.