Matius 23:27-32
“Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, hai kamu orang-orang munafik, sebab kamu sama seperti kuburan yang dilabur putih, yang sebelah luarnya memang bersih tampaknya, tetapi yang sebelah dalamnya penuh tulang belulang dan pelbagai jenis kotoran. Demikian jugalah kamu, di sebelah luar kamu tampaknya benar di mata orang, tetapi di sebelah dalam kamu penuh kemunafikan dan kedurjanaan.
Celakalah kamu, hai ahli-ahli Taurat dan orang-orang Farisi, hai kamu orang-orang munafik, sebab kamu membangun makam nabi-nabi dan memperindah tugu orang-orang saleh dan berkata: Jika kami hidup di zaman nenek moyang kita, tentulah kami tidak ikut dengan mereka dalam pembunuhan nabi-nabi itu. Tetapi dengan demikian kamu bersaksi terhadap diri kamu sendiri, bahwa kamu adalah keturunan pembunuh nabi-nabi itu. Jadi, penuhilah juga takaran nenek moyangmu!”
***
Yesus kembali mengecam ahli Taurat dan orang-orang Farisi yang munafik. Mereka mengajarkan hal-hal yang terlihat baik hanya agar dilihat banyak orang, tetapi di dalamnya penuh dengan kebohongan. Yesus juga mengingatkan mereka tentang asal-usul dan nenek moyang mereka yang tidak boleh dilupakan.
“Buah jatuh tidak jauh dari pohonnya”. Pepatah ini mengingatkan kita akan keterikatan hubungan setiap orang dengan leluhurnya. Bentuk fisik, karakter, hobi, dan kehidupan ekonomi seorang leluhur menjadi akar kehidupan baru bagi keturunannya. Bagi para anak cucu, apa yang diwariskan oleh leluhur harus selalu diingat dan disyukuri, sebab tanpa keberadaannya, mereka tidak mungkin hadir di dunia ini. Warisan yang baik hendaknya ditiru dan dikembangkan, tetapi hal-hal yang kurang baik hendaknya dihilangkan atau diperbaiki.
Ibu saya pandai memasak, menjahit, dan mengurus rumah tangga. Semua pekerjaan rumah bisa dilakukannya. Ia pun giat berkomunitas, serta rajin berdoa. Ayah saya seorang pekerja keras, disiplin, dan penyayang keluarga. Ibu dan ayah tidak bersekolah tinggi, tetapi mereka mengajarkan banyak hal yang baik kepada saya tentang kehidupan. Karena itu, saya bercita-cita menjadi seperti mereka yang tangguh, penuh kasih, dan kuat dalam menjalani kehidupan ini. Ajaran mengenai kasih, pengampunan, kerendahan hati, saling menolong, dan hidup rukun adalah beberapa warisan yang mereka tinggalkan. Kebaikan-kebaikan itu kemudian saya turunkan kepada keluarga dan anak-anak saya.
Seiring dengan bertambahnya usia, orang semakin banyak mengalami manis pahitnya kehidupan. Melalui pengalaman-pengalaman jatuh bangun tersebut, Tuhan hendak mengajarkan tentang kebijaksanaan, kerendahan hati, dan pertumbuhan iman yang harus selalu diperbarui. Itulah yang akan menguatkan setiap orang dalam menghadapi pencobaan dunia, dan dalam usaha memberikan yang terbaik untuk Tuhan dan sesama.