Yohanes 6:41-51
Maka bersungut-sungutlah orang Yahudi tentang Dia, karena Ia telah mengatakan: “Akulah roti yang telah turun dari surga.” Kata mereka: “Bukankah Ia ini Yesus, anak Yusuf, yang ibu bapa-Nya kita kenal? Bagaimana Ia dapat berkata: Aku telah turun dari surga?” Jawab Yesus kepada mereka: “Jangan kamu bersungut-sungut.
Tidak ada seorang pun yang dapat datang kepada-Ku, jikalau ia tidak ditarik oleh Bapa yang mengutus Aku, dan ia akan Kubangkitkan pada akhir zaman. Ada tertulis dalam kitab nabi-nabi: Dan mereka semua akan diajar oleh Allah. Dan setiap orang, yang telah mendengar dan menerima pengajaran dari Bapa, datang kepada-Ku. Hal itu tidak berarti, bahwa ada orang yang telah melihat Bapa. Hanya Dia yang datang dari Allah, Dialah yang telah melihat Bapa. Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya barangsiapa percaya, ia mempunyai hidup yang kekal. Akulah roti hidup. Nenek moyangmu telah makan manna di padang gurun dan mereka telah mati. Inilah roti yang turun dari surga: Barangsiapa makan darinya, ia tidak akan mati. Akulah roti hidup yang telah turun dari surga. Jikalau seorang makan dari roti ini, ia akan hidup selama-lamanya, dan roti yang Kuberikan itu ialah daging-Ku, yang akan Kuberikan untuk hidup dunia.”
***
Tema bacaan-bacaan hari ini tampaknya mengajak kita untuk merenungkan tentang makanan dan kehidupan. Bacaan pertama (1Raj. 19:4-8) mengisahkan tentang Elia yang sedang mengadakan perjalanan di padang gurun. Ia merasa kelelahan dan ingin mati saja. Namun, malaikat membangunkan dia dan menyediakan makanan sampai dua kali, sehingga Elia sanggup melanjutkan perjalanan berkat kekuatan dari makanan itu. Bacaan kedua (Ef. 4:30 – 5:2) mengajak kita untuk hidup dalam kasih sebagai anak-anak kesayangan Allah, sebab Yesus sendiri sudah mengasihi kita dengan menyerahkan nyawa-Nya. Dalam bacaan Injil hari ini, Yesus mengatakan bahwa Dia adalah roti hidup yang turun dari surga.
Makanan merupakan kebutuhan pokok dan penopang utama kehidupan, sehingga menjadi salah satu hak asasi manusia. Namun, mirisnya, masih banyak orang di berbagai belahan dunia, termasuk Indonesia, yang mengalami kelaparan karena berbagai sebab, misalnya karena paceklik, bencana alam, peperangan, atau perampasan. Kita mengetahui bahwa kelaparan menimbulkan efek yang buruk. Pertumbuhan fisik dan otak akan terganggu karenanya, yang pada akhirnya berujung pada kematian.
Sebagaimana tubuh kita membutuhkan makanan jasmani, jiwa kita juga membutuhkan makanan agar tetap hidup. Apa yang menjadi makanan atau santapan bagi jiwa kita? Yesus memberikan diri-Nya sebagai roti hidup yang turun dari surga. Setiap orang yang makan dari roti itu akan hidup selama-lamanya. Namun, Yesus mengatakan satu syarat, yakni iman. Barangsiapa percaya, ia akan mempunyai hidup yang kekal.
Sebagai orang Katolik, kita bersyukur memiliki Sakramen Ekaristi yang memungkinkan kita menyantap tubuh dan darah Kristus sebagai santapan jiwa kita. Kita mengimani bahwa hosti yang kita sambut, yakni yang telah dikonsekrasi, adalah Kristus sendiri. Selain itu, betapa bahagianya kita karena setiap hari kita bisa merayakan Ekaristi yang di dalamnya juga ada pewartaan sabda yang menghadirkan Allah sendiri. Sama seperti tubuh akan kuat bila setiap hari kita menyantap makanan yang sehat, demikian juga jiwa akan kuat kalau setiap hari kita bisa menyantap roti dan anggur, serta sabda Allah, melalui perayaan Ekaristi.
Dalam Ekaristi, Yesus memecah-mecah dan membagi tubuh-Nya sendiri kepada kita yang percaya kepada-Nya. Dalam Ekaristi, kita merayakan pengurbanan dan pemberian diri Yesus untuk keselamatan seluruh umat manusia. Ketika menyantap tubuh-Nya, kita mengalami kesatuan dengan Kristus. Dia sekarang hidup dalam diri kita, memberi kita kekuatan untuk menjadi serupa dengan-Nya, yakni mau mengurbankan diri dan membagi-bagi kehidupan kita melalui panggilan dan pelayanan yang dipercayakan kepada kita. Dengan rela berkurban dan rela membagi hidup kita kepada orang yang kita layani, kita menghadirkan Kerajaan Allah.