Mempertahankan Iman atau Mempertahankan Eksistensi Diri?

Sabtu, 10 Agustus 2024 – Pesta Santo Laurensius

61

Yohanes 12:24-26

“Aku berkata kepadamu: Sesungguhnya jikalau biji gandum tidak jatuh ke dalam tanah dan mati, ia tetap satu biji saja; tetapi jika ia mati, ia akan menghasilkan banyak buah. Barangsiapa mencintai nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya, tetapi barangsiapa tidak mencintai nyawanya di dunia ini, ia akan memeliharanya untuk hidup yang kekal. Barangsiapa melayani Aku, ia harus mengikut Aku dan di mana Aku berada, di situ pun pelayan-Ku akan berada. Barangsiapa melayani Aku, ia akan dihormati Bapa.”

***

Kisah kemartiran St. Laurensius sangat terkenal. Saat itu, Diakon Laurensius diminta Kaisar Valerius untuk menyerahkan harta kekayaan Gereja sebagai syarat agar terlepas dari hukuman mati. Laurensius menyanggupinya. Namun, bukannya membawa materi dalam bentuk harta benda, ia malah membawa seluruh “harta kekayaan” Gereja, yakni orang miskin, orang kecil, dan mereka yang terpinggirkan yang selama ini dirawat olehnya. Hal itu menyebabkan kaisar marah, sehingga Laurensius lalu dijatuhi hukuman mati dengan cara dibakar. 

Panggilan menjadi saksi Kristus ditujukan kepada kita semua. Pada zaman dahulu, bentuk kemartiran bisa berakhir sampai pada kematian. Faktor membela dan mempertahankan iman menjadi semangat dasar orang-orang kudus dalam merelakan hidup mereka sebagai martir. Pada zaman ini, bentuk kemartiran yang demikian hampir tidak ada lagi. Kesadaran hukum tentang hak hidup sebagai hak asasi membuat kemartiran zaman ini berubah.

Dunia sedang berhadapan dengan relasi antropologi yang modern. Interaksi orang tidak lagi didominasi perjumpaan, tetapi lebih mengutamakan teknologi visual, bahkan digital. Cara dan gaya hidup kita juga berubah, bukan lagi tentang mempertahankan atau membela iman, melainkan mengajarkan dan mengaktualisasikannya. Problemnya, banyak yang salah paham, sehingga bukan iman yang dijadikan prioritas, melainkan dirinya sendiri. Misalnya, banyak orang mengunggah foto dengan gaya tertentu di media sosial dengan caption ayat Kitab Suci. Yang dipentingkan di sini bukan ayatnya, melainkan fotonya sendiri.

Kemartiran zaman ini bukan lagi berhadapan dengan pihak lain, melainkan dengan diri sendiri yang dipengaruhi oleh keinginan untuk pamer, atau istilah populernya flexing. Flexing adalah perilaku seseorang yang gemar menunjukkan prestasi, kebahagiaan, atau gaya hidup yang berlebihan dengan tujuan mendapat perhatian dan pengakuan dari sebanyak-banyaknya orang. Kecenderungan ini membuat pewartaan Injil terhambat, sebab kesaksian iman yang dibuat harus menyertakan ego seseorang. Kita bukan mati bagi Kristus, melainkan bagi obsesi akan eksistensi yang tak terkendali.

Bacaan Injil hari ini mengajarkan kita untuk lebih rendah hati sebagai saksi Kristus. Pertama-tama, kenali dahulu identitas Yesus, serta ajaran dan kehendak-Nya. Lalu, kita berdoa sebagai bentuk pengendapan dan refleksi. Setelah itu, barulah kita mencari kesinambungan dengan pengalaman kita sehari-hari. Dengan demikian, apa yang kita wartakan akan menjadi refleksi inspiratif bagi orang lain, sehingga semakin banyak yang mengenal Tuhan dan sifat-sifat-Nya. Tuhan memberkati.